Exercising Your German Shorthaired Pointer
by: Lea Mullins
German Shorthaired Pointers are a rather intelligent, happy and quite energetic. They aim to please their owner and enjoy the family environment. Due to their active nature exercise and training of this breed is extremely important in order to avoid unwanted behavior.
They need ample opportunities throughout the day to release their energy with interesting things to do. If they are not provided with enough mental stimulation or exercise they may become bored and rambunctious, which is generally displayed in their destructive behavior and continuous barking. They are well suited to large backyards to run around and vent off excess energy, and they are also great as working dogs on large properties or farms.
Owning a puppy is always exciting, but with it comes challenges and adjustments. Here are some suggested ways you can train and exercise your German Shorthaired Pointer. Train your puppy daily routines from where to get their water and food through to where their bed is located as well as where they can go to the toilet. This is generally taught at 8 – 12 weeks of age. With any training and exercise your pet should be taught some commands from no, stay, come etc…
Remember owning a German Shorthaired Pointer whether a puppy or adult, they are extremely energetic and excitable, and should not be taken too lightly. As apart of their daily routine, incorporate a few leash walks with some use of commands to get them used to walking with you without dragging you and some fun play time with them to zap up some of that extra energy. If you are away from them during the day make sure you have some interesting play things to do in that time or you’ll find they’ll get bored and destructive. This breed loves ball and chasing games. So be aware if you do have other pets like cats be sure to introduce them at a young age as they’ll enjoy chasing them. Once they have established the basic commands and respect within the family dynamics it will be a lot easier to take your pet out to the park for play time.
If you live on a large property be sure to include them with your daily duties. They make great working dog as they were previously known for their hunting abilities and since they are eager to please they will enjoy the time spent with their owner working.
German Shorthaired Pointers enjoy doing tasks with you, something that keeps them busy and will excel in exercise and activities such as tracking trials, hunting tests and other field trials and training.
Keeping your pet well exercised will keep them healthy as well as a great companion and family member for all. They are a loveable breed that responds well to training when kept in shape and will benefit their longevity and well being.
Selasa, 30 November 2010
Senin, 29 November 2010
KESEHATAN TERNAK DAN HASIL PRODUKSINYA
KESEHATAN TERNAK DAN HASIL PRODUKSINYA
Kesehatan ternak dan hasil produksinya harus selalu mendapat perhatian khusus agar kualitasnya tidak berkurang atau menurun. Untuk itu sangat perlu disusun persyaratan-persyaratan yang membatasi ternak dan produk olahannya demi menjaga kualitas tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak.
Usaha sanitasi sangat penting dilakukan agar ternak dan produk olahannya terhindar dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitasnya seperti faktor fisik, kimia, dan biologi.
Semakin tingginya arus globalisasi dan era pasar bebas menyebabkan arus perdagangan ternak antar negara semakin meningkat, dan biasanya hal ini di ikuti pula oleh penyebaran penyakit menular. Oleh karena itu demi membentengi negara Indonesia ini dari masuknya ternak-ternak impor dan produk-produk olahannya yang mengandung penyakit atau memiliki kualitas rendah, maka perlu adanya suatu aturan yang membatasinya, misalnya manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak impor (berasal dari luar negeri). Adapun persyaratan ini berfungsi sebagai penyaring terhadap produk-produk ternak impor tersebut, sehingga terjadinya penyebaran penyakit dari suatu negara masuk ke Indonesia dapat di cegah, dan negara ini akan terbebas dari penyakit menular yang penyebarannya melalui arus pasar global.
Persyaratan Kesehatan Untuk Sapi Bibit
Sapi bibit yang akan diimpor ke Indonesia harus memenuhi persyaratan:
1. Sapi yang diimpor berasal dari peternakan / wilayah yang selama enam bulan terakhir tidak diketemukan adanya kasus penyakit hewan menular.
2. Tidak menunjukkan gejala klinis Leptospirosis 90 hari sebelum pengapalan.
3. Sapi impor tersebut harus bebas dari penyakit Brucellosis dan TBC yang dinyatakan dengan hasil negatif pemeriksaan laboratorium kesehatan hewan.
4. Pada saat pemberangkatan tidak diketemukan adanya kejadian Ring Wom(Trichopythosis), Pink Eye, Actinomycosis dan Dermatophytosis.
5. Vaksinasi Anaplasmosis dan Babesiosis dilaksanakan 7 sampai dengan 60 hari sebelum pengapalan.
6. Pengobatan terhadap infeksi cacing dilaksanakan 15 hari sebelum pengapalan dengan preparat Ivermectin atau obat cacing lain yang sejenis.
7. Semua kegiatan penanganan Kesehatan hewan tersbut di atas harus di bawah pengawasan Dokter Hewan berwenang di negara asal dan daerah tujuan.
8. Memenuhi ketentuan tindak karantina, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Persyaratan Sanitasi Untuk Daging
Untuk mencegah masuknya penyakit infeksius terutama penyakit eksotik ke dalam negara Indonesia, mencegah agar konsumen tidak tertular penyakit zoonosis dan menjamin keamanan dari daging impor, maka daging yang dimasukkan ke Indonesia harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam SK Mentan No.745/Kpts/TN.240/12/1992:
a. Semua pengiriman daging dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Negara atau daerah asal daging tersebut harus bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
2. Negara tersebut harus bebas dari Bovine Spongioform Encephalopathy.
3. Daging tersebut harus berasal dari hewan yang dilahirkan serta dibesarkan
atau hewan yang sudah berada di negara asal selama 4 bulan terakhir sebelum impor.
4. Hewan harus berasal dari Rumah Potong Hewan yang telah memiliki izin serta melalui pemeriksaan ante mortem dan post mortem, dan telah diproses sesuai persyaratan sanitasi dan higiene sehingga daging tersebut aman dan sesuai untuk konsumsi manusia.
5. Semua daging seperti pada poin tersebut di atas, harus memiliki stempel inspeksi pada permukaan daging tersebut, atau pada permukaan kemasan daging untuk daging yang berada dalam kemasan.
6. Daging tersebut tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan makanan, atau zat lain pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia, serta daging tersebut tidak boleh disimpan lebih dari tiga bulan terhitung mulai dari tanggal pemotongan sampai dengan tanggal pengiriman.
b. Importasi daging dari luar negeri untuk konsumsi masyarakat dan/atau untuk diperdagangkan harus berasal dari rumah potong seperti pada poin keempat, serta harus dipotong sesuai dengan syariah Islam, memiliki Sertifikat Halal dan Nomer Kontrol Veteriner rumah potong hewan tersebut yaitu: EST.180, 555, 686, 505A,1058, 640, 486, 648, 297, 2773
c. Daging impor tersebut harus dikirimkan secara langsung dari negara asal ke tempat-tempat pemasukan di Indonesia.
d. Kemasan daging tersebut harus memiliki segel asli dengan label Nomer Kontrol Veteriner, tanggal pemotongan dan tipe daging serta
label tersebut harus dapat terbaca.,
e. Kontainer untuk mengirimkan daging dari negara asal harus memiliki segel dari Dokter Hewan yang berwenang dan segel tersebut hanya dapat dilepas oleh Petugas Karantina Hewan yang berwenang di tempat-tempat pemasukan.
f. Selama transportasi, suhu dalam kontainer harus tetap stabil (berkisar antara -18 C sampai dengan -22 C).
g. Semua produk daging impor harus dilaporkan oleh importir ke petugas karantina hewan pada tempat-tempat pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku.
h. Dalam kasus di mana pemeriksaan karantina dilakukan di luar tempat-tempat pemasukan, Badan Karantina Pertanian Nasional harus menentukan lokasi pemeriksaan tersebut.
Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Daging ke Dalam Negara Indonesia
Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi ketentuan jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen.
Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman batin konsumen. Persyaratan Pemasukan Daging Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan :
i.Negara asal; Rumah Potong asal daging; Kualitas daging; Cara pemotongan; Pengemasan; Pengangkutan.
Tata Cara Pemasukan Daging
1. Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir umum dapat melakukan pemasukan daging dari Luar negeri ke dalam wilayah negara republik Indonesia.
2. Direktur Jenderal Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan pengolahan daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis, kualitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
3. Penilaian oleh Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud pada point.2) dilakukan berdasarkan persyaratan teknis dan dapat disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakan penilaian.
4.Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada point.2, importir mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging, tujuan daerah pemasukan, jenis dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.
Persyaratan Sanitasi Untuk Susu, Susu Bubuk, Produk Susu Dan Krim Susu
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi susu, susu bubuk, produk susu dan krim susu ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Semua pengiriman susu dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Importasi produk hewan harus disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan, dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Pemerintah Negara Asal, yang menyatakan bahwa:
2. Negara atau bagian dari negara atau daerah asal bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
3. Produk susu tersebut harus berasal dari kelompok atau kawanan ternak yang tidak menjadi subyek pembatasan karena adanya penyakit Brucellosis atau Tuberculosis pada saat pengumpulan susu.
4. Susu atau krim berasal dari Perusahaan Industri Pemrosesan yang telah memperoleh izin Pemerintah Nasional dan telah menerapkan rencana HACCP. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi manusia, harus melakukan salah satu dari tandar berikut ini:
a. Ultra-high temperature (UHT=suhu minimal 132 C, sekurang-kurangnya selama 1 detik).
b. Jika susu tersebut memiliki pH kurang dari 7,0, maka dilakukan pasteurisasi high temperature short time (HTST).
c. Jika susu tersebut memiliki pH 7,0 atau lebih, maka dilakukan HTST ganda. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi hewan, harus melakukan salah satu dari standar berikut, yaitu HTST ganda (72 oC sekurang-kurangnya selama 15 detik) atau HTST dikombinasi dengan perlakuan fisik lainnya, misalnya pH dipertahankan
Persyaratan Sanitasi Untuk Pakan Hewan Jadi Yang Digunakan Sebagai Pakan Hewan Kesayangan
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi pakan hewan jadi
(pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Standar 1.
Importasi dari negara pengekspor pakan hewan jadi (pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia dengan bahan baku yang berasal dari ruminansia, babi dan unggas harus memenuhi persyaratan dan juga dilengkapi dengan sertifikat terlampir, sebagai berikut:
1. Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan yang
berwenang, yang menyatakan bahwa:
- Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama seperti: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des petits Ruminant, Vesikular Stomatitis, Swine Vesicular Disease, African Swine Fever, Bovine Spongioform Encephalopathy, Scrapie dan Highly Pathogenic Avian Influenza.
-Importasi dari negara endemik PMK diperbolehkan bilamana produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang berasal dari ruminansia atau babi.
2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas kontrol kualitas pada industri tersebut, yang menyatakan bahwa:
- Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal dan juga harus memiliki nomer pendirian.
- Bahan-bahan yang digunakan harus tercantum secara spesifik.
Material tersebut harus mendapat perlakuan sesuai dengan standar berikut ini:
1. Untuk Produk Pakan Kering, bahan-bahan yang berasal dari hewan harus dipanaskan pada suhu minimal 240 F (115 C) sekurang-kurangnya selama 20 menit dengan tekanan atmosfer. Bahan-bahan tersebut dikombinasi dengan sereal dan bahan-bahan lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pemanasan.Proses pemanasan produk tersebut dilakukan dengan proses ekstrusi yang memanaskan produk tersebut hingga mencapai suhu minimal 240 F (115 C) selama 15 detik dan dengan tekanan atmosfer selama 28 menit.
2. Produk Pakan Kalengan diproduksi sesuai dengan teknik pengolahan
makanan kaleng standar, dengan suhu tidak kurang dari 240 F (115 C)
dalam periode tidak kurang dari 75 menit.
Standar 2
Importasi pakan hewan harus dilaporkan oleh pihak importir ke Petugas Karantina Hewan pada bandara/pelabuhan pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku. Semua pakan hewan impor harus dicatat oleh Dokter Hewan Karantina berwenang pada bandara/pelabuhan pemasukan.
Persyaratan Sanitasi Untuk Bahan Baku Pakan Asal Hewan (Tepung Tulang Dan Daging / Daging / Tulang / Tanduk / Darah Dari Sapi, Kambing , Domba, Dan Rusa Serta Tepung By- Product Unggas / Bulu Unggas)
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan
ternak (tepung tulang dan daging / daging / tulang / tanduk / darah) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari Negara atau bagian Negara yang bebas dari PMK, rinderpest, Peste des petits Ruminant sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum ekspor, BSE dan Scrapie.
2. Produk berasal dari perusahaan pengolahan yang memiliki izin dan memiliki NKV. Alamat industri harus tercantum dalam Sertifikat Kesehatan.
3. Produk berasal dari hewan yang sehat. Pabrik pengolahan harus mencatat penggunaan hewan untuk produksi serta harus mencatat tanggal produksi pada setiap pengiriman.
4. Produk telah mendapat perlakuan pemanasan secara termal sampai Mencapai tingkat penghancuran target yang mengandung mikroorganisme.
5. Produk harus menjadi subyek pengujian pasca produksi untuk memeriksa adanya Salmonella (dan Clostridium). Uji ini harus dilakukan di Laboratorium Pemerintah atau laboratorium yang bersertifikat. Tanggal pengujian dan hasil pengujian harus tercantum dalam sertfikat kesehatan.
6. Produk ini harus diolah dan diproses berdasarkan Peraturan/Standar Pemerintah negara eksporter untuk memastikan keamanan produk.
7. Setelah perlakuan, harus dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi dengan sumber pathogen utama.
8. Pabrik pengolahan harus menerapkan GMP dan prosedur hygiene
sanitasi sebelum pengemasan. Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan ternak (tepung by-product unggas / bulu) ke Indonesia, adalah sebagai berikut
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari area yang memenuhi kriteria OIE yaitu berasal dari area yang bebas dari wabah HPAI dan area yang tidak melaporkan adanya wabah PMK dalam waktu sebulan sebelum ekspor.
2. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang memiliki izin dan NKV. Pabrik pengolahan harus memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam penjualan domestik.
3. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang hanya melakukan pengolahan khusus hanya untuk satu spesies atau memiliki jalur pengolahan terpisah untuk mencegah kontaminasi dengan bahan-bahan asal ruminansia atau babi.
4. Pabrik pengolahan tersebut harus memiliki catatan semua sumber bahan mentah yang digunakan. Produk yang dinyatakan di sini, diproduksi pada tanggal berikut: (termasuk tanggal produksi).
5. Pengujian rutin terhadap adanya salmonella harus dilakukan pada produk ini sesuai dengan protokol yang disetujui di laboratorium pemerintah atau laboratorium bersertifikat.
6. Dilakukan perlakuan pemanasan kering pada material yang diolah berdasarkan standar yang disetujui.
7. Dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi agen patogenik pada produk tersebut setelah pengolahan.
8. Produk tersebut diolah sesuai dengan persyaratan sanitasi standar dan sesuai dengan GMP.
9. Produk ini tidak mengandung bahan-bahan asal ruminansia dan
unggas.
Persyaratan lain:
1. Produk ini harus memiliki label bahwa produk ini tidak sesuai untuk konsumsi manusia dan tidak mengandung bahan asal babi serta hanya digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur.
2. Penerapan pengujian dan perlakuan seperti tersebut di atas harus berada dalam pengawasan langsung Dokter Hewan Berwenang dari negara asal.
3. Produk yang menunjukkan bukti fisik adanya kerusakan pada kantung atau kemasan dan terletak pada kotak/kontainer yang tidak terjamin keamanannya, harus ditarik dari pengiriman dan ditolak untuk dimuat.
4. Sertifikat kesehatan harus diserahkan pada kapten/perusahaan ekspedisi, sedangkan salinannya diserahkan kepada perwakilan Indonesia di negara asal.
5. Jika dianggap perlu, maka Ditjennak dapat melakukan. pemeriksaan langsung di lokasi pengolahan tersebut.
Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Bahan Baku Kulit ke dalam negara Indonesia
Pemasukan Kulit Wet Blue, Crust dan Finished Leather. Dapat dimasukkan dari dan/atau transit di semua negara (status bebas dan endemik penyakit daftar A-OIE). Tetapi dari negara yang sedang dinyatakan wabah (epidemi) penyakit tersebut, maka dilarang pemasukannya ke Indonesia.Apabila wabah penyakit telah dapat dikendalikan (setelah 30 hari sejak kasus terakhir) maka pemasukkannya
dapat disetujui kembali.
Kesehatan ternak dan hasil produksinya harus selalu mendapat perhatian khusus agar kualitasnya tidak berkurang atau menurun. Untuk itu sangat perlu disusun persyaratan-persyaratan yang membatasi ternak dan produk olahannya demi menjaga kualitas tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak.
Usaha sanitasi sangat penting dilakukan agar ternak dan produk olahannya terhindar dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitasnya seperti faktor fisik, kimia, dan biologi.
Semakin tingginya arus globalisasi dan era pasar bebas menyebabkan arus perdagangan ternak antar negara semakin meningkat, dan biasanya hal ini di ikuti pula oleh penyebaran penyakit menular. Oleh karena itu demi membentengi negara Indonesia ini dari masuknya ternak-ternak impor dan produk-produk olahannya yang mengandung penyakit atau memiliki kualitas rendah, maka perlu adanya suatu aturan yang membatasinya, misalnya manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak impor (berasal dari luar negeri). Adapun persyaratan ini berfungsi sebagai penyaring terhadap produk-produk ternak impor tersebut, sehingga terjadinya penyebaran penyakit dari suatu negara masuk ke Indonesia dapat di cegah, dan negara ini akan terbebas dari penyakit menular yang penyebarannya melalui arus pasar global.
Persyaratan Kesehatan Untuk Sapi Bibit
Sapi bibit yang akan diimpor ke Indonesia harus memenuhi persyaratan:
1. Sapi yang diimpor berasal dari peternakan / wilayah yang selama enam bulan terakhir tidak diketemukan adanya kasus penyakit hewan menular.
2. Tidak menunjukkan gejala klinis Leptospirosis 90 hari sebelum pengapalan.
3. Sapi impor tersebut harus bebas dari penyakit Brucellosis dan TBC yang dinyatakan dengan hasil negatif pemeriksaan laboratorium kesehatan hewan.
4. Pada saat pemberangkatan tidak diketemukan adanya kejadian Ring Wom(Trichopythosis), Pink Eye, Actinomycosis dan Dermatophytosis.
5. Vaksinasi Anaplasmosis dan Babesiosis dilaksanakan 7 sampai dengan 60 hari sebelum pengapalan.
6. Pengobatan terhadap infeksi cacing dilaksanakan 15 hari sebelum pengapalan dengan preparat Ivermectin atau obat cacing lain yang sejenis.
7. Semua kegiatan penanganan Kesehatan hewan tersbut di atas harus di bawah pengawasan Dokter Hewan berwenang di negara asal dan daerah tujuan.
8. Memenuhi ketentuan tindak karantina, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Persyaratan Sanitasi Untuk Daging
Untuk mencegah masuknya penyakit infeksius terutama penyakit eksotik ke dalam negara Indonesia, mencegah agar konsumen tidak tertular penyakit zoonosis dan menjamin keamanan dari daging impor, maka daging yang dimasukkan ke Indonesia harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam SK Mentan No.745/Kpts/TN.240/12/1992:
a. Semua pengiriman daging dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Negara atau daerah asal daging tersebut harus bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
2. Negara tersebut harus bebas dari Bovine Spongioform Encephalopathy.
3. Daging tersebut harus berasal dari hewan yang dilahirkan serta dibesarkan
atau hewan yang sudah berada di negara asal selama 4 bulan terakhir sebelum impor.
4. Hewan harus berasal dari Rumah Potong Hewan yang telah memiliki izin serta melalui pemeriksaan ante mortem dan post mortem, dan telah diproses sesuai persyaratan sanitasi dan higiene sehingga daging tersebut aman dan sesuai untuk konsumsi manusia.
5. Semua daging seperti pada poin tersebut di atas, harus memiliki stempel inspeksi pada permukaan daging tersebut, atau pada permukaan kemasan daging untuk daging yang berada dalam kemasan.
6. Daging tersebut tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan makanan, atau zat lain pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia, serta daging tersebut tidak boleh disimpan lebih dari tiga bulan terhitung mulai dari tanggal pemotongan sampai dengan tanggal pengiriman.
b. Importasi daging dari luar negeri untuk konsumsi masyarakat dan/atau untuk diperdagangkan harus berasal dari rumah potong seperti pada poin keempat, serta harus dipotong sesuai dengan syariah Islam, memiliki Sertifikat Halal dan Nomer Kontrol Veteriner rumah potong hewan tersebut yaitu: EST.180, 555, 686, 505A,1058, 640, 486, 648, 297, 2773
c. Daging impor tersebut harus dikirimkan secara langsung dari negara asal ke tempat-tempat pemasukan di Indonesia.
d. Kemasan daging tersebut harus memiliki segel asli dengan label Nomer Kontrol Veteriner, tanggal pemotongan dan tipe daging serta
label tersebut harus dapat terbaca.,
e. Kontainer untuk mengirimkan daging dari negara asal harus memiliki segel dari Dokter Hewan yang berwenang dan segel tersebut hanya dapat dilepas oleh Petugas Karantina Hewan yang berwenang di tempat-tempat pemasukan.
f. Selama transportasi, suhu dalam kontainer harus tetap stabil (berkisar antara -18 C sampai dengan -22 C).
g. Semua produk daging impor harus dilaporkan oleh importir ke petugas karantina hewan pada tempat-tempat pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku.
h. Dalam kasus di mana pemeriksaan karantina dilakukan di luar tempat-tempat pemasukan, Badan Karantina Pertanian Nasional harus menentukan lokasi pemeriksaan tersebut.
Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Daging ke Dalam Negara Indonesia
Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi ketentuan jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen.
Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman batin konsumen. Persyaratan Pemasukan Daging Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan :
i.Negara asal; Rumah Potong asal daging; Kualitas daging; Cara pemotongan; Pengemasan; Pengangkutan.
Tata Cara Pemasukan Daging
1. Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir umum dapat melakukan pemasukan daging dari Luar negeri ke dalam wilayah negara republik Indonesia.
2. Direktur Jenderal Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan pengolahan daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis, kualitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
3. Penilaian oleh Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud pada point.2) dilakukan berdasarkan persyaratan teknis dan dapat disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakan penilaian.
4.Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada point.2, importir mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging, tujuan daerah pemasukan, jenis dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.
Persyaratan Sanitasi Untuk Susu, Susu Bubuk, Produk Susu Dan Krim Susu
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi susu, susu bubuk, produk susu dan krim susu ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Semua pengiriman susu dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Importasi produk hewan harus disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan, dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Pemerintah Negara Asal, yang menyatakan bahwa:
2. Negara atau bagian dari negara atau daerah asal bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
3. Produk susu tersebut harus berasal dari kelompok atau kawanan ternak yang tidak menjadi subyek pembatasan karena adanya penyakit Brucellosis atau Tuberculosis pada saat pengumpulan susu.
4. Susu atau krim berasal dari Perusahaan Industri Pemrosesan yang telah memperoleh izin Pemerintah Nasional dan telah menerapkan rencana HACCP. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi manusia, harus melakukan salah satu dari tandar berikut ini:
a. Ultra-high temperature (UHT=suhu minimal 132 C, sekurang-kurangnya selama 1 detik).
b. Jika susu tersebut memiliki pH kurang dari 7,0, maka dilakukan pasteurisasi high temperature short time (HTST).
c. Jika susu tersebut memiliki pH 7,0 atau lebih, maka dilakukan HTST ganda. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi hewan, harus melakukan salah satu dari standar berikut, yaitu HTST ganda (72 oC sekurang-kurangnya selama 15 detik) atau HTST dikombinasi dengan perlakuan fisik lainnya, misalnya pH dipertahankan
Persyaratan Sanitasi Untuk Pakan Hewan Jadi Yang Digunakan Sebagai Pakan Hewan Kesayangan
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi pakan hewan jadi
(pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Standar 1.
Importasi dari negara pengekspor pakan hewan jadi (pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia dengan bahan baku yang berasal dari ruminansia, babi dan unggas harus memenuhi persyaratan dan juga dilengkapi dengan sertifikat terlampir, sebagai berikut:
1. Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan yang
berwenang, yang menyatakan bahwa:
- Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama seperti: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des petits Ruminant, Vesikular Stomatitis, Swine Vesicular Disease, African Swine Fever, Bovine Spongioform Encephalopathy, Scrapie dan Highly Pathogenic Avian Influenza.
-Importasi dari negara endemik PMK diperbolehkan bilamana produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang berasal dari ruminansia atau babi.
2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas kontrol kualitas pada industri tersebut, yang menyatakan bahwa:
- Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal dan juga harus memiliki nomer pendirian.
- Bahan-bahan yang digunakan harus tercantum secara spesifik.
Material tersebut harus mendapat perlakuan sesuai dengan standar berikut ini:
1. Untuk Produk Pakan Kering, bahan-bahan yang berasal dari hewan harus dipanaskan pada suhu minimal 240 F (115 C) sekurang-kurangnya selama 20 menit dengan tekanan atmosfer. Bahan-bahan tersebut dikombinasi dengan sereal dan bahan-bahan lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pemanasan.Proses pemanasan produk tersebut dilakukan dengan proses ekstrusi yang memanaskan produk tersebut hingga mencapai suhu minimal 240 F (115 C) selama 15 detik dan dengan tekanan atmosfer selama 28 menit.
2. Produk Pakan Kalengan diproduksi sesuai dengan teknik pengolahan
makanan kaleng standar, dengan suhu tidak kurang dari 240 F (115 C)
dalam periode tidak kurang dari 75 menit.
Standar 2
Importasi pakan hewan harus dilaporkan oleh pihak importir ke Petugas Karantina Hewan pada bandara/pelabuhan pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku. Semua pakan hewan impor harus dicatat oleh Dokter Hewan Karantina berwenang pada bandara/pelabuhan pemasukan.
Persyaratan Sanitasi Untuk Bahan Baku Pakan Asal Hewan (Tepung Tulang Dan Daging / Daging / Tulang / Tanduk / Darah Dari Sapi, Kambing , Domba, Dan Rusa Serta Tepung By- Product Unggas / Bulu Unggas)
Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan
ternak (tepung tulang dan daging / daging / tulang / tanduk / darah) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari Negara atau bagian Negara yang bebas dari PMK, rinderpest, Peste des petits Ruminant sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum ekspor, BSE dan Scrapie.
2. Produk berasal dari perusahaan pengolahan yang memiliki izin dan memiliki NKV. Alamat industri harus tercantum dalam Sertifikat Kesehatan.
3. Produk berasal dari hewan yang sehat. Pabrik pengolahan harus mencatat penggunaan hewan untuk produksi serta harus mencatat tanggal produksi pada setiap pengiriman.
4. Produk telah mendapat perlakuan pemanasan secara termal sampai Mencapai tingkat penghancuran target yang mengandung mikroorganisme.
5. Produk harus menjadi subyek pengujian pasca produksi untuk memeriksa adanya Salmonella (dan Clostridium). Uji ini harus dilakukan di Laboratorium Pemerintah atau laboratorium yang bersertifikat. Tanggal pengujian dan hasil pengujian harus tercantum dalam sertfikat kesehatan.
6. Produk ini harus diolah dan diproses berdasarkan Peraturan/Standar Pemerintah negara eksporter untuk memastikan keamanan produk.
7. Setelah perlakuan, harus dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi dengan sumber pathogen utama.
8. Pabrik pengolahan harus menerapkan GMP dan prosedur hygiene
sanitasi sebelum pengemasan. Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan ternak (tepung by-product unggas / bulu) ke Indonesia, adalah sebagai berikut
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari area yang memenuhi kriteria OIE yaitu berasal dari area yang bebas dari wabah HPAI dan area yang tidak melaporkan adanya wabah PMK dalam waktu sebulan sebelum ekspor.
2. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang memiliki izin dan NKV. Pabrik pengolahan harus memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam penjualan domestik.
3. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang hanya melakukan pengolahan khusus hanya untuk satu spesies atau memiliki jalur pengolahan terpisah untuk mencegah kontaminasi dengan bahan-bahan asal ruminansia atau babi.
4. Pabrik pengolahan tersebut harus memiliki catatan semua sumber bahan mentah yang digunakan. Produk yang dinyatakan di sini, diproduksi pada tanggal berikut: (termasuk tanggal produksi).
5. Pengujian rutin terhadap adanya salmonella harus dilakukan pada produk ini sesuai dengan protokol yang disetujui di laboratorium pemerintah atau laboratorium bersertifikat.
6. Dilakukan perlakuan pemanasan kering pada material yang diolah berdasarkan standar yang disetujui.
7. Dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi agen patogenik pada produk tersebut setelah pengolahan.
8. Produk tersebut diolah sesuai dengan persyaratan sanitasi standar dan sesuai dengan GMP.
9. Produk ini tidak mengandung bahan-bahan asal ruminansia dan
unggas.
Persyaratan lain:
1. Produk ini harus memiliki label bahwa produk ini tidak sesuai untuk konsumsi manusia dan tidak mengandung bahan asal babi serta hanya digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur.
2. Penerapan pengujian dan perlakuan seperti tersebut di atas harus berada dalam pengawasan langsung Dokter Hewan Berwenang dari negara asal.
3. Produk yang menunjukkan bukti fisik adanya kerusakan pada kantung atau kemasan dan terletak pada kotak/kontainer yang tidak terjamin keamanannya, harus ditarik dari pengiriman dan ditolak untuk dimuat.
4. Sertifikat kesehatan harus diserahkan pada kapten/perusahaan ekspedisi, sedangkan salinannya diserahkan kepada perwakilan Indonesia di negara asal.
5. Jika dianggap perlu, maka Ditjennak dapat melakukan. pemeriksaan langsung di lokasi pengolahan tersebut.
Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Bahan Baku Kulit ke dalam negara Indonesia
Pemasukan Kulit Wet Blue, Crust dan Finished Leather. Dapat dimasukkan dari dan/atau transit di semua negara (status bebas dan endemik penyakit daftar A-OIE). Tetapi dari negara yang sedang dinyatakan wabah (epidemi) penyakit tersebut, maka dilarang pemasukannya ke Indonesia.Apabila wabah penyakit telah dapat dikendalikan (setelah 30 hari sejak kasus terakhir) maka pemasukkannya
dapat disetujui kembali.
Minggu, 28 November 2010
Cacing Trematoda (CAcing Daun/Cacing Pipih)
Cacing Trematoda (CAcing Daun/Cacing Pipih)
1. Pendahuluan
Trematoda berasal dari bahasa yunani Trematodaes yang berarti punya lobang, bentuk tubuh pipih dorso ventral sperti daun.Umumnya semua organ tubuh tak punya ronggat tubuh dan mempunyai Sucker atau kait untuk menempel pada parasit ini di luar atau di organ dalam induk semang. Saluran pencernaaan mempunyai mulut, pharink, usus bercabang cabang. tapi tak punya anus.
Sistem eksretori bercabang- cabang, mempunyai flame cell yaitu kantong eksretori yang punya lubang lubang di posterior. Hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae. Siklis hidup ada secara langsung (Monogenea) dan tak langsung (Digenea)
Trematoda atau cacing daun yang berparasit pada hewan dapat dibagi menjadi tiga sub klas yaitu Monogenea, Aspidogastrea, dan Digenea. Pada hewan jumlah jenis dan macam cacing daun ini jauh lebih besar dari pada yang terdapat pada manusia, karena pada hewan sub klas ini dapat dijumpai.
Dalam makalah ini kami membahas khusus Dicrocoelium dendriticum yang merupakan spesies dari genus Dicrocoelium dari sub klas Digenea,Semua cacing daun yang termasuk golongan sub klas Digenea ini berparasit pada siklus hidupnya. Sebagai induk semang perantara adalah mollusca tetapi kadang juga pelkecypoda.
Banyak dari apa yang sekarang diketahui tentang D. dendriticum adalah hasil kerja para naturalis seperti Wendell Krull. Sementara itu D. Dendriticum juga ditemukan oleh Rudolphi pada 1819 dan . Hospes definitif ditemukan oleh Loos tahun 1899, seluruh siklus hidup tidak diketahui,sampai CR peta Krull menerbitkan karyanya dari tahun1951-1953 secara mendetil tentang pengamatan dan percobaan D. denriticum. Untuk lebih jelasnya kami membahas secara Deskrptif dalam makalah ini.
2. Etiologi
Penyakit dicrocoeliasis disebabkan oleh cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia, dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).
2.1. morfologi
• Tubuh memanjang, dengan panjang 6-10 × 1,5-2,5 mm. Bagian anterior sempit di bagian lengan melebar
• Diposterior alat kelamindipenuhi uterus yang bercabang-cabang
• Telur coklat 36-45×20-32 mikron, beropeculum
• Terdapat didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia
2.2. Siklus Hidup

Keterangan Gambar :
• Host intermediet 1 : siput
• Host intermediet 2 : semut
Telur dimakan H.I → menetas→ mirasidium→ migrasi ke glandula mesenterika→ sporosiste→ sporosiste anak → serkaria→ bergerombol, satu sama lain dilekat kan oleh subtansi gelatinous yang disebut “SLIME BALLS”→ mengandung 200-400 serkaria→ dikeluarkan dari siput→ melekat di tumbuh-tumbuhan.
Slime balls dimakan semut. Metaserkaria di cavum abdominalis semut ± 128 per semut. Dapat juga memasuki otak semut. Induk semang definitif terinfeksi karena makan semut→ duktus biliverus→ hati
Cacing yang kecil masuk kecabang duktus biliverus→menempel dengan perubahan patologi tidak begitu tampak untuk memproduksi telur yang di butuhkan sekitar 11 minggu setelah hewan memakan metaserkaria (dibanding Fasciola hepatica) kecuali ada infeksi berat. Pada infeksi lanjut→ Cirrhosis hepatica dan terbentuk pada permukaan hati, duktus biliverus melebar terisi cacing.
2.3. Distribusi
Terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia,New york dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).
2.4. Predileksi
Predileksi didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia.
2.5. Host
• Host intermediet 1 : siput →Cionella lubrica
• Host intermediet 2 : Semut→ famili formica
• Host definitif pada domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia yang termakan host intermediet 2
2.6.Gejala Klinis
• Oedema dan kurus tetapi pada beberapa kejadian tidak ada gejala klinis
• Serosis pada permukaan liver dan duktus empedu
• Adanya anemia
• Terjadinya proliferasi glandula epitel pada duktus biliverus
2.7. Patogenesa
Cacing kecil mengadakan penetrasi dalam duktus biliverus infeksi yang tinggi pernah terjadi pada domba kira-kira 2000 D.denriticum. Di Spanyol 34℅ sapi, Domba 23℅, 45℅ pada kambing, Switzerland 40℅.
2.8. Diagnosa
• Gejala klinis
• Sejarah pastur
• Ditemukan D.denriticum imatur dalam feses cair
• Post mortem yaitu serosis merupakan sejumlah besar cacing ditemukan pada duktus biliverus
Diagnosis untuk infeksi dicrocoeliasis melibatkan identifikasi D. dendriticum telur dalam kotoran manusia atau hewan. Namun, pada manusia, telur dalam tinja mungkin hasil dari hewan yang terinfeksi menelan mentah hati dan mungkin tidak pada kenyataannya menunjukkan dicrocoeliasis. Oleh karena itu, memeriksa cairan empedu atau duodenum untuk telur adalah teknik diagnostik yang lebih akurat.
Pada hewan, diagnosa melibatkan bedah bangkai dari hati. Baru-baru ini, sebuah ELISA menggunakan antigen D. dendriticum mampu mengidentifikasi kasus dicrocoeliasis domba di Italia..
1. Pendahuluan
Trematoda berasal dari bahasa yunani Trematodaes yang berarti punya lobang, bentuk tubuh pipih dorso ventral sperti daun.Umumnya semua organ tubuh tak punya ronggat tubuh dan mempunyai Sucker atau kait untuk menempel pada parasit ini di luar atau di organ dalam induk semang. Saluran pencernaaan mempunyai mulut, pharink, usus bercabang cabang. tapi tak punya anus.
Sistem eksretori bercabang- cabang, mempunyai flame cell yaitu kantong eksretori yang punya lubang lubang di posterior. Hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae. Siklis hidup ada secara langsung (Monogenea) dan tak langsung (Digenea)
Trematoda atau cacing daun yang berparasit pada hewan dapat dibagi menjadi tiga sub klas yaitu Monogenea, Aspidogastrea, dan Digenea. Pada hewan jumlah jenis dan macam cacing daun ini jauh lebih besar dari pada yang terdapat pada manusia, karena pada hewan sub klas ini dapat dijumpai.
Dalam makalah ini kami membahas khusus Dicrocoelium dendriticum yang merupakan spesies dari genus Dicrocoelium dari sub klas Digenea,Semua cacing daun yang termasuk golongan sub klas Digenea ini berparasit pada siklus hidupnya. Sebagai induk semang perantara adalah mollusca tetapi kadang juga pelkecypoda.
Banyak dari apa yang sekarang diketahui tentang D. dendriticum adalah hasil kerja para naturalis seperti Wendell Krull. Sementara itu D. Dendriticum juga ditemukan oleh Rudolphi pada 1819 dan . Hospes definitif ditemukan oleh Loos tahun 1899, seluruh siklus hidup tidak diketahui,sampai CR peta Krull menerbitkan karyanya dari tahun1951-1953 secara mendetil tentang pengamatan dan percobaan D. denriticum. Untuk lebih jelasnya kami membahas secara Deskrptif dalam makalah ini.
2. Etiologi
Penyakit dicrocoeliasis disebabkan oleh cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia, dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).
2.1. morfologi
• Tubuh memanjang, dengan panjang 6-10 × 1,5-2,5 mm. Bagian anterior sempit di bagian lengan melebar
• Diposterior alat kelamindipenuhi uterus yang bercabang-cabang
• Telur coklat 36-45×20-32 mikron, beropeculum
• Terdapat didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia
2.2. Siklus Hidup
Keterangan Gambar :
• Host intermediet 1 : siput
• Host intermediet 2 : semut
Telur dimakan H.I → menetas→ mirasidium→ migrasi ke glandula mesenterika→ sporosiste→ sporosiste anak → serkaria→ bergerombol, satu sama lain dilekat kan oleh subtansi gelatinous yang disebut “SLIME BALLS”→ mengandung 200-400 serkaria→ dikeluarkan dari siput→ melekat di tumbuh-tumbuhan.
Slime balls dimakan semut. Metaserkaria di cavum abdominalis semut ± 128 per semut. Dapat juga memasuki otak semut. Induk semang definitif terinfeksi karena makan semut→ duktus biliverus→ hati
Cacing yang kecil masuk kecabang duktus biliverus→menempel dengan perubahan patologi tidak begitu tampak untuk memproduksi telur yang di butuhkan sekitar 11 minggu setelah hewan memakan metaserkaria (dibanding Fasciola hepatica) kecuali ada infeksi berat. Pada infeksi lanjut→ Cirrhosis hepatica dan terbentuk pada permukaan hati, duktus biliverus melebar terisi cacing.
2.3. Distribusi
Terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia,New york dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).
2.4. Predileksi
Predileksi didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia.
2.5. Host
• Host intermediet 1 : siput →Cionella lubrica
• Host intermediet 2 : Semut→ famili formica
• Host definitif pada domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia yang termakan host intermediet 2
2.6.Gejala Klinis
• Oedema dan kurus tetapi pada beberapa kejadian tidak ada gejala klinis
• Serosis pada permukaan liver dan duktus empedu
• Adanya anemia
• Terjadinya proliferasi glandula epitel pada duktus biliverus
2.7. Patogenesa
Cacing kecil mengadakan penetrasi dalam duktus biliverus infeksi yang tinggi pernah terjadi pada domba kira-kira 2000 D.denriticum. Di Spanyol 34℅ sapi, Domba 23℅, 45℅ pada kambing, Switzerland 40℅.
2.8. Diagnosa
• Gejala klinis
• Sejarah pastur
• Ditemukan D.denriticum imatur dalam feses cair
• Post mortem yaitu serosis merupakan sejumlah besar cacing ditemukan pada duktus biliverus
Diagnosis untuk infeksi dicrocoeliasis melibatkan identifikasi D. dendriticum telur dalam kotoran manusia atau hewan. Namun, pada manusia, telur dalam tinja mungkin hasil dari hewan yang terinfeksi menelan mentah hati dan mungkin tidak pada kenyataannya menunjukkan dicrocoeliasis. Oleh karena itu, memeriksa cairan empedu atau duodenum untuk telur adalah teknik diagnostik yang lebih akurat.
Pada hewan, diagnosa melibatkan bedah bangkai dari hati. Baru-baru ini, sebuah ELISA menggunakan antigen D. dendriticum mampu mengidentifikasi kasus dicrocoeliasis domba di Italia..
Sabtu, 27 November 2010
Jumat, 26 November 2010
Tindakan Dasar Penyelamatan dan Pelestarian Orangutan Sumatera
Tindakan Dasar Penyelamatan dan Pelestarian Orangutan Sumatera
Orangutan atau dikenal juga dengan nama mawas adalah sejenis kera besar yang memiliki lengan yang panjang dan kuat dengan warna bulu kemerahan, terkadang cokelat serta tidak memiliki ekor. kera besar ini merupakan salah satu hewan langka di dunia karena hanya terdapat di Indonesia (90 % dari jumlah seluruhnya) dan Malaysia (10 %) dengan habitatnya berada di hutan hujan tropis.
Di Indonesia terdapat dua jenis orangutan, yaitu orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan orangutan yang hidup di hutan sumatera (Pongo abelii). Pada keduanya terdapat sedikit perbedaan, yakni orangutan yang terdapat di hutan sumatera badannya sedikit lebih kecil dari orangutan Kalimantan, wajahnya lebih sedikit lonjong dan hidupnya lebih sosial dibandingkan orangutan Kalimantan yang hidupnya lebih soliter.
Pada era-90an diperkirakan jumlah orangutan di Indonesia sekitar 200.000 ekor, namun dalam satu dekade terakhir populasinya mengalami penurunannya yang sangat drastis. Kini diperkirakan jumlah orangutan kalimantan sekitar 12.000 ekor dan orangutan sumatera lebih parah lagi, yaitu sekitar 6.650 ekor. Keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena tangan-tangan jahil manusia yang membinasakan habitat mereka dan tingginya kasus pembunuhan dan penjualan orang utan. Apabila hal ini tidak dicegah, dapat diprediksikan orang utan akan mengalami kepunahan pada satu dekade mendatang.
Di indonesia Orangutan Sumatera (Pongo abelii) hanya menempati wilayah sekitar hutan Nanggroe Aceh Darussalam sampai sumatera utara, tepatnya di daerah Taman Nasional Gunung Leuser, mulai dari timang gajah, aceh tengah sampai sitinjak di tapanuli selatan. Selain itu sebagian kecil populasi juga terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru Sumatera Utara.
Dari data terakhir yang dimiliki oleh ANTARA SUMUT, populasi Orangutan Sumatra diperkirakan hanya tinggal 6.624 individu dan termasuk salah satu spesies yang sangat terancam punah.
Untuk menghentikan terus terjadinya penurunan jumlah populasi orangutan di hutan sumatera maka perlu adanya tindakan nyata dari pemerintah dan masyarakat.
Beberapa tindakan yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan primo animale Indonesia ini adalah :
1. Penyelamatan Habitat Orangutan
Degradasi kawasan berhutan di sumatera selain berdampak kepada terganggunya daur siklus tata air, oksigen, dan iklim mikro, juga berdampak kepada terputusnya daerah jelajah banyak satwa seperti orangutan. Dewasa ini kerusakan hutan di tanah air mencapai 2,7-2,8 juta hektar dari luas hutan Indonesia, seperti di Sumatera Utara terdapat 894.146 ha kawasan hutan yang rusak berat dari total luas 3.742.120 ha.Kondisi itu ditandai dengan dijumpai sejumlah kasus Orangutan yang terisolasi di ladang penduduk atau di luar wilayah konservasi baik di Nanggroe Aceh Darussalam maupun Sumatera Utara, sehingga ancaman perburuan terhadap satwa yang dilindungi ini menjadi semakin besar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah orang utan berbanding lurus dengan kerusakan hutan.
Oleh sebab itu sebagai langkah awal dalam penyelamatan Orangutan Sumatera dari kepunahan adalah dengan cara menyelamatkan habitatnya terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penghentian pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit, berperang melawan illegal logging, reboisasi dan menggalakkan gerakan tanam seribu pohon.
Mustahil kita melestarikan orangutan tanpa melestarikan habitatnya, karena orangutan adalah satwa liar yang lebih suka hidup di alam bebas dari pada di penangkaran atau di kebun binatang. Penelitian membuktikan orangutan yang tinggal di penangkaran dan karantina umurnya lebih pendek dari orang utan yang hidup di alam bebas. Jadi, rehabilitasi habitat orangutan adalah harga mutlak dalam usaha pelestarian Orangutan Sumatera ini.
2. Memberikan Seruan Terhadap Masyarakat
Di indonesia tingkat pembunuhan dan penjualan orangutan terbilang cukup tinggi karena pada umumnya masyarakat tersebut tidak mengetahui atau tidak menganggap orangutan sebagai salah satu satwa kebanggaan negeri kita. Dan masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga kelestarian orang utan masih sangat sedikit.
Untuk itu kita herus menggalakkan kampanye orangutan di berbagai daerah di sumatera, baik di perkotaan maupun dipedesaan. Misalnya mengadakan seminar tentang orangutan, sosialisasi, memberikan pendidikan langsung tentang konservasi terhadap masyarakat khususnya di Sumatera, penyebaran poster-poster dan slogan tentang penyelamatan Orang utan Sumatera dari kepunahan, memberikan seruan agar tidak membuka lahan perkebunan di kawasan konservasi, dan lain-lain. Dengan adanya kegiatan seperti ini masyarakat mendapatkan informasi tentang orang utan dan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut melestarikan orang utan tersebut.
3. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Orangutan Sumatera
Disamping memperbaiki habitat Orangutan Sumatera dan menumbuhkan kesadaran pada masyarakat, kita juga harus melakukan penelitian terhadap orangutan, seperti cara pengobatan, tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari orangutan seperti perilaku makan, tidur, grooming, kawin, perilaku maternal dan banyak lagi. Hal ini penting agar kita tidak salah dalam mengambilkan tindakan dalam penangkaran dan konservasi. Selain itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Orangutan Sumatera juga dapat dilakukan dengan penangkaran dan rehabilitasi.
4. Meningkatkan Hubungan Antara LSM Dengan LSM Terkait, Pemerintah, Dan Masyarakat
Pelestarian orangutan sumatera tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah, atau LSM tertentu saja, tetapi harus ada dukungan dari semua pihak, termasuk dukungan dari masyarakat Internasional. Contohya dalam menyelamatkan habitat orangutan, departeman kehutanan harus bekerja sama dengan LSM lingkungan hidup, kepolisisan, dan masyarakat sekitar, karena sangat sulit jika mereka bekerja secara individu dan rintangannya pasti akan lebih ringan apabila dilakukan dengan bekerjasama.
Pemerintah dan LSM yang bergelut dalam ruang lingkup Orangutan Sumatera harus bekerja sama dan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar, seperti memberikan pendidikan atau pelatihan keterampilan kepada masyarakat, agar masyarakat tersebut dapat mencukupi kebutuhan ekonominya, sebab pada umumnya masyarakat yang melakukan penangkapan, dan penjualan orang utan serta perambahan hutan di daerah konservasi dimotivasi oleh faktor ekonomi, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga terpaksa melakukan kegiatan terlarang ini.
Apabila tindakan-tindakan ini dapat berjalan dengan baik dan terciptanya hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan masyarakat, maka harapan pelestarian Orangutan sumatera semakin terbuka lebar.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang utan adalah simbol dari hutan tropis, dengan menyelamatkan orang utan maka kita telah menyelamatkan hutan tropis yang mencegah emisi karbon.
Referensi
http://www.antarasumut.com/berita-sumut/lingkungan/orangutan-sumatera-terancam-punah/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_utan.
Disamping memperbaiki habitat Orangutan Sumatera dan menumbuhkan kesadaran pada masyarakat, kita juga harus melakukan penelitian terhadap orangutan, seperti cara pengobatan, tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari orangutan seperti perilaku makan, tidur, grooming, kawin, perilaku maternal dan banyak lagi. Hal ini penting agar kita tidak salah dalam mengambilkan tindakan dalam penangkaran dan konservasi. Selain itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Orangutan Sumatera juga dapat dilakukan dengan penangkaran dan rehabilitasi.
4. Meningkatkan Hubungan Antara LSM Dengan LSM Terkait, Pemerintah, Dan Masyarakat
Pelestarian orangutan sumatera tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah, atau LSM tertentu saja, tetapi harus ada dukungan dari semua pihak, termasuk dukungan dari masyarakat Internasional. Contohya dalam menyelamatkan habitat orangutan, departeman kehutanan harus bekerja sama dengan LSM lingkungan hidup, kepolisisan, dan masyarakat sekitar, karena sangat sulit jika mereka bekerja secara individu dan rintangannya pasti akan lebih ringan apabila dilakukan dengan bekerjasama.
Pemerintah dan LSM yang bergelut dalam ruang lingkup Orangutan Sumatera harus bekerja sama dan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar, seperti memberikan pendidikan atau pelatihan keterampilan kepada masyarakat, agar masyarakat tersebut dapat mencukupi kebutuhan ekonominya, sebab pada umumnya masyarakat yang melakukan penangkapan, dan penjualan orang utan serta perambahan hutan di daerah konservasi dimotivasi oleh faktor ekonomi, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga terpaksa melakukan kegiatan terlarang ini.
Apabila tindakan-tindakan ini dapat berjalan dengan baik dan terciptanya hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan masyarakat, maka harapan pelestarian Orangutan sumatera semakin terbuka lebar.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang utan adalah simbol dari hutan tropis, dengan menyelamatkan orang utan maka kita telah menyelamatkan hutan tropis yang mencegah emisi karbon.
Referensi
http://www.antarasumut.com/berita-sumut/lingkungan/orangutan-sumatera-terancam-punah/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_utan.
Kamis, 25 November 2010
Menilisik Latar Belakang Penelitian E. sakazakii pada Susu Formula
Menilisik Latar Belakang Penelitian E. sakazakii pada Susu Formula
Polemik susu formula bayi yang belakangan ini muncul ke permukaan mau tidak mau turut mencuatkan nama
DR. drh. Sri Estuningsih, M.Si yang tidak lain adalah salah satu peneliti IPB yang melakukan penelitian tersebut.
DR. drh. Sri Estuningsih, M.Si yang tidak lain adalah salah satu peneliti IPB yang melakukan penelitian tersebut.
Medicastore berkesempatan mewawancarai DR. Estu, sapaan akrabnya. Tujuannya tak lain untuk menggali lebih dalam tentang bakteri Enterobacter sakazakii (E. sakazakii) yang dituding telah mengkontaminasi susu formula dan makanan bayi di Indonesia.
Ditemui di ruang kerjanya di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, siang itu DR. Estu terlihat segar dan bersemangat dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Berikut petikan wawancara dengan beliau.
Awalnya saya tidak mencari mengenai E. sakazakii karena di Indonesia belum ada kasus. Saya lebih menyoroti Salmonella, Shigella, dan E. coli karena ada kejadian diare pada bayi, walaupun tidak mewabah. Ketika bayi diare dikatakan susu atau makanannya tidak cocok, saya pikir ada hubungannya dengan produk yang dikonsumsi. Produk yang berkaitan dengan bayi hanya ada dua, susu formula dan follow-on formula. Jadi mungkin ada relevansi antara kontrol higiene dengan produk tersebut.
Saya melakukan penelitian awal di Jerman karena laboratoriumnya terakreditasi dan Jerman ditunjuk oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia) sebagai koordinator pengawasan mutu makanan dan susu bayi. Tahun 2003, Salmonella dan Shigella hasilnya negatif. Tapi ditemukan E. sakazakii sebanyak 13,5% (10 dari 74 sampel). Ternyata E. sakazakii berpotensi membuat enteritis, sepsis, dan meningitis. Ini hal serius. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau ini ada di susu formula bayi. Tahun 2004, setelah diteliti 46 merek, ada tiga merek yang terkontaminasi.
Tahun 2006 hasilnya cenderung lebih tinggi 22,73% pada susu formula dan 40% pada makanan bayi. Saya mengambil inisiatif. Ini harus dibicarakan. Tahun 2006 saya informasikan hasil penelitian tersebut ke BPOM. Saya jelaskan metode yang saya gunakan, mungkin cocok dengan yang biasa BPOM gunakan.
Susu formula yang diteliti hanya untuk bayi berusia 0-6 bulan. Sementara seluruh sampel berasal dari produk lokal. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya, saya membeli susu di supermarket yang paling banyak dan sampai ke pelosok, sehingga diharapkan sampel yang serupa terdistribusi ke seluruh Indonesia.
Tahun 2003 dan 2004 saya meneliti bersama teman-teman di Jerman. Tapi karena ada keharusan di IPB tidak boleh melakukan penelitian sendiri, maka tahun 2006 tim kami terdiri dari saya, Dr. I. Wayan T. Wibawan (sekarang Dekan FKH IPB), dan Dr. Rochman Naim yang sekarang hijrah ke Malaysia. Tahun 2007 saya dengan Dr. Wayan dan Drh. Hernomoadi Huminto, MVS.
Dari awal saya berharap BPOM dapat memanfaatkan hasil penelitian ini. Meskipun jika ditinjau dari segi survei belum memadai, tapi ini merupakan inisiasi bagi BPOM untuk melakukan survei kewenangan sesuai tugas dan fungsinya.
Mungkin ini hanya masalah prioritas. Bisa saja di BPOM ini belum menjadi prioritas. Tapi bagi kami para peneliti, ini mempunyai arti yang cukup dalam. Misalnya seseorang terinfeksi, akibatnya bisa fatal atau cacat, kita tidak tahu kondisinya seperti apa. Semua belum terbuka, sehingga perlu terus dilakukan penelitian.
E. sakazakii pada lingkungan biasa tidak patogen. Namun yang perlu dipelajari adalah mengapa jika E. sakazakii sudah berada di dalam susu formula, E. sakazakii mampu menjadi patogen. Sifatnya oportunistik. Dalam keadaan optimal, E. sakazakii bisa tumbuh mencapai fase eksponensial, membelah jadi banyak sekali dari 10 sampai jutaan. Kemudian E. sakazakii menghasilkan faktor virulen enterotoksin, sehingga dapat melakukan adhesi (menempel) ke sel epitel, dapat memasuki dan menembus pembuluh darah, kemudian menyebabkan peradangan. Hasilnya, dapat menyebabkan enteritis, sepsis, dan meningitis.
Tapi enterotoksin tidak dihasilkan di dalam susu formula. Jika sudah diminum, sudah adhesi, baru di situlah bakteri mulai keluar. Yang berbahaya jika badan bakteri masuk, kemudian hidup dan berbiak, ini yang bisa membuat sakit. Karenanya langkah yang paling penting dalam menghambat kontaminasi adalah membuat susu dengan air bersuhu 70 °C sehingga kalaupun ada badan bakteri, akan mati.
Begini, dalam proses pembuatan susu formula, setelah di pasteurisasi, dilakukan spray drying dengan mengalirkan udara panas agar susu yang tadinya berbentuk cair menjadi bubuk. Namun saat dilakukan fortifikasi (penambahan nutrisi lainnya) dimasukkan beberapa bahan yang mungkin tidak boleh terkena panas lagi. Jadi, kemungkinan di sinilah resikonya. Belum lagi jika ada pori-pori di alat yang tidak tercuci. Satu hal lagi, begitu terkena kontak dengan permukaan kasar, E. sakazakii akan membuat semacam biofilm (seperti selimut), sehingga agak sulit untuk dilakukan desinfeksi.
Saya yakin industri telah melaksanakan cGMP (current Good Manufacturing Practice). Tapi hendaknya dimonitor, sehingga jika ada kekurangan, masih ada kemungkinan untuk diperbaiki. Saya belum tahu bagian mana dari proses di industri yang rentan terkontaminasi E. sakazakii karena saya belum ada kesempatan untuk mengambil sampel dari setiap critical point. Umumnya industri memiliki data tercatat mulai dari raw material, pasca pasteurisasi, spray drying, blending (pencampuran), finishing, sampai sesudah dipasarkan.
Namun ada baiknya dilakukan audit internal dan eksternal. Audit internal dilakukan oleh bagian QC (Quality Control/Pengawasan Mutu) dari industri, sementara untuk audit eksternal ada baiknya meminta badan atau institusi yang dianggap kompeten untuk mengaudit. Salah satunya adalah BPOM, karena memang sudah tugasnya.
Pertanyaan ini sedang didiskusikan terus. Saat ini E. sakazakii baru sampai draf ke-4 (dalam konferensi kerangka acuan standar pangan dunia, Codex Alimentarius Commission, WHO-red) , finalnya sampai draf ke-8, jadi masih perlu waktu empat tahun lagi.
Saya kira sebisa mungkin mentaati apa yang sudah digariskan oleh peraturan (standar-red) yang mengikat di bidang mereka. Audit internal penting dilaksanakan. Kalau bisa audit eksternal juga dilakukan, baik oleh BPOM atau institusi lain (secara berkala-red).
NEMATODA (CACING GELANG/GILIK)
NEMATODA
(CACING GELANG/GILIK)
I. Tinjauan Pustaka(CACING GELANG/GILIK)
Kelas nematoda terdiri dari beberapa spesies tidak hanya bersifat parasitik terhadap manusia, namun juga terhadap binatang, tumbuhan baik yang diusahakan maupun liar. Nematoda merupakan organisme yang mempunyai struktur sederhana. Nematoda dewasa tersusun oleh ribuan sel-sel somatik, ratusan sel diantaranya membentuk sistem reproduksi. Tubuh nematoda berupa tabung yang disebut sebagai pseudocoelomate. (anonimus, 2008).
Nematoda merupakan anggota dari filum nemathelminthes. Mereka mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi oleh selaput seluler sehingga disebut pseudosel atau pseudoseloma. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan sel langsung di bawahnya, hipodermis. (Levine, 1977).
Nematoda adalah cacing yang umumnya berbentuk bulat (silindris) memanjang dari anterior ke posterior dan pada anterior terdapat mulut. Tubuhnya ditutupi oleh selapis kutikula yang tidak berwarna dan hampir transparan. Kutikula dihasilkan oleh hipodermis yang berada dibawahnya. (Yudha, 2009).
Biasanya sistem pencernaan, ekskresi, dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur, tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembang biak secara partenogenesis. Cacing dewasa tidak bertambah banyak didalam badan manusia. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai 200.000 butir sehari. Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan. Hampir semua nematoda mempunyai daur hidup yang telah diketahui dengan pasti. (gandahusada,1998).
Model pengendalian siklus infeksi toxocariasis pedet dapat dilakukan dengan minyak atsiri rimpang temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB). Peluang penularan trypanosomiasis dapat terjadi jika terdapat reservoir, yaitu sapi yang terinfeksi. Mekanisme penularan dipengaruhi oleh kemampuan terbang vektor, kemampuan menyebar, serta daya tahan hidup T.evansi pada vektor. "Lama hidup pada habitat probosis vektor maksimal 4 jam. Sedangkan pada habitat fore gut maksimal 9 jam (Setiawan Koesdarto, 2007).
A. Taksonomi
Taksonomi dari cacing namatoda adalah:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylorida, rhabditorida, ascaridorida, spirurorida, camallanorida,
dorylaimorida, dioctophymatorida
Famili : Trichostrongylidae,rhabditidae, cephalobidae, strongyloididae,
ancylostomatidae, strongylidae, syngamidae, metastrongilidae,
ascarididae,
filariidae, dll
Genus : Trichostrongylus, strongyloides, ancylostoma, necator, strongylus,
haemonchus,dipetalonema, dirofilaria, dll
Spesies: Trichostrongylus axei, Strongyloides papillosus, Ancylostoma caninum,
Necator americanus, Strongylus equinus, Haemonchus contortus,
Dipetalonema reconditum, Dirofilaria immitis, dll
B. Morfologi
§ Bentuk tubuhnya bulat (silindris) memanjang dari anterior ke posterior, tidak bersegmen dan meruncing pada kedua ujungnya.
§ Permukaan tubuhnya dilapisi oleh kutikula yang dihasilkan langsung oleh hipodermis yang berada dibawahnya.
§ Organ – organ internalnya berbentuk filamen dan tergantung dalam rongga tubuh cacing yang berisi cairan.
§ Sistem pencernaannya berupa tabung lurus panjang dengan sebuah mulut yang dikelilingi oleh 6 bibir dan anus dibagian posterior.
§ Sistem syaraf terdiri dari cincin syaraf yang mengelilingi istmus esofagus dan tersusun dari sejumlah ganglia dan syaraf.
§ Sistem reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduct, dan uterus yang berakhir pada vagina pendek dan berujung di vulva yang terletak di daerah 1/3 bagian anterior tubuh.
§ Sistem reproduksi jantan terdiri dari sebuah testis dan vas deferens yang berakhir di duktus ejakulator di kloaka.
§ Pada cacing jantan terdapat spikula yang homolog dengan penis dan bursa kopulatriks yang berfungsi untuk memegang betina ketika perkawinan.
II. Gambar dan Keterangan
III. Pembahasan
A. Epidemiologi
Ada dua fenomena yang mempengaruhi siklus hidup normal nematoda yang mempunyai arti penting secara biologi dan epidemiologi:
1. Hypobiosis : suatu fenomena berhentinya pertumbuhan cacing nematoda pada titik tertentu dari perkembangannya sebagai parasit. Umumnya terjadi pada saat cuaca dilingkungan tidak mendukung untuk kelangsungan hidup cacing di luar tubuh induk semang. Pada daerah dingin terjadi pada musim dingin sedangkan pada daerah tropis terjadi pada musim panas yang lama. Pada sebagian besar jenis cacing, hipobiosis terjadi pada tingkat L4.
2. periparturient rise, spring rise (penigkatan jumlah telur dalam feses). Menigkatnya jumlah telur dalam feses induk semang disekitar waktu kelahiran. Terutama pada domba, kambing, dan babi. Penyebabnya adalah turunnya tingkat kekebalan induk semang yang berhubungan dengan berubahnya kadar hormon laktogenik, prolaktin. Turunnya tingkat immunitas spesifik terhadap parasit karena meninnginya kadar prolaktin ( karena melahirkan ). Kejadian ini akan normal kembali bila kadar prolaktin turun ke normal setelah hewan berhenti menyusui. Akibat dari kejadian ini adalahkerugian pada hewan yang berlaktasi, dan timbulnya penyakit klinis pada hewan – hewan muda.
B. Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda mengikuti pola standar terdiri dari telur, empat stadium larva, dan dewasa. Larvanya kadang – kadang disebut juvenil karena mereka mirip dengan cacing yang dewasa, yakni mereka berbentukcacing juga. Menyilih (ekdisis) terjadi setelah setiap stadium larva. Telur kadang – kadang menetas pada saat larva berkembang di dalamnya, dengan demikian stadium infektif mungkin telur atau mungkin larva, bergantung kepada jenis nematoda. Apabila stadium infektifnya adalah larva, biasanya larva tersebut disebut sebagai stadium ketiga (L3). Jika stadium infektif adalah telur, larva yang dikandung biasanya larva stadium kedua (L2). Siklus hidupnya dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (memiliki induk semang perantara). Di dalam induk semang definitif larva tersebut berubah menjadi cacing dewasa dan menetap serta berkembang biak di dalam tubuh induk semang tersebut.
C. Kunci Identifikasi
Nematoda dapat diidentifikasi dari cacing lainnya adalah berdasarkan bentuknya yang silindris, tidak bersegmen dan meruncing dikedua ujungnya. Pada bagian posterior dari kebanyakan cacing nematoda jantan terdapat spikulum bursa kopulatriks, sehingga perbedaan antara cacing jantan dan betina sangat jelas.
IV. Daftar Pustaka
Levine, Norman D. 1977. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Gandahusada, Srisasi.dkk. 1998. Parasitologi Kedokteran . Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Koesdarto Setiawan, 2007, Penyakit Parasitik Pada Pengembangan Sapi Madura. Info
Vet, Jakarta Selatan.
Kamaruddin, Mufti.dkk.2009. Parasitologi Veteriner. Universitas Syiah Kuala. Banda
Aceh.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nematologi
http://www.google.com/nematoda/image
Rabu, 24 November 2010
TANYA JAWAB PARASITOLOGI
TANYA JAWAB PARASITOLOGI
1)Ada tiga batil isap, sebutkan bentuk dan contohnya!
1.Alat isap yang berbentuk saluran (bothria, suctorial grooves), contohnya pada Diphylobothrium latum.
2.Alat isap berbentuk cawan (sucking disk), misalnya pada Taenia saginata.
3.Alat isap berbentuk cawan dengan rostellum yang dilengkapi dengan kait – kait chitine, misalnya pada Taenia solium.
2)Apakah fungsi dari :
1.Tegument
Tegument berada di permukaan tubuh, berfungsi sebagai tempat penyerapan makanan dari luar dan sebagai pelindung tubuh.
2.Respirasi
Sistem respirasinya melalui difusi pada permukaan tubuh, berfungsi untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida.
3.Reproduksi
Cestoda merupakan parasit yang bersifat hermaprodit, berfungsi untuk alat perkembangbiakan, alat kelamin jantan terdiri dari testis yang banyak, vas efferens, vas deferens, dan sirus, sedangkan alat kelamin betina terdiri dari ovarium, oviduct, reseptakulum seminalis, dan vagina. Kedua alat kelamin ini ada disetiap proglotid. Dan itu sebabnya ada beberapa ilmuan yang mengatakan bahwa cacing pita ini adalah bentuk koloni.
No Tipe dewasa H. definitif H. intermediet Tipe larva Rostellum (ada /tidak)
1. Diphylobothrium latum Anjing, kucing, rubah, beruang, karnivora lain, dan manusia Cyclops, diaptomus, dan ikan – ikan air tawar (salmon) Tipe solid Tidak
2 Raillietina cesticillus Ayam, burungkuau, dan jenis unggas lainnya Kumbang tinja, kumbang tanah, kumbang hitam, kumbang tepung Cycticercoid Ada
3 Diphylidium caninum Anjing, kucing, dan binatang buas Pinjal (Ctenosephalides canis, C. felis, dan Pulex irritans) Cysticercoid Ada
4 Hymenolepis diminuta Tikus (rats, mice) Kutu tikus, kumbang, lipas, kupu – kupu Cysticercoid Ada
5 Taenia solium Manusia Babi Cysticercus Ada
6 Multiceps multiceps Anjing, anjing hutan, srigala Domba, sapi, kuda, kambing Coenurus Ada
7 Echinococus granulosus Anjing, srigala, dan anjing hutan, serta carnivora lain. Ungulata (domba, dapi, kambing) Hydatida Ada
4) Klasifikasi cestoda
No Ordo Genus Spesies H. definitif H. intermediet
1 Diphyllideorida Diphylobothrium a. Diphylobothrium latum Anjing, kucing, manusia Cyclops, diaptomus, ikan air tawar (salmon)
b. Diphilobothrium mansoni Anjing, kucing Manusia
2 diphyllideorida Spirometra a. Spirometra mansoni Anjing, kucing, Copepoda, katak, ular, burung, dan bahkan mamalia
b. Spirometra mansonoides Famili kucing, anjing, Copepoda, amfibi, reptil.
3 Mesocestoidideorida Mesocestoida a. Mesocestoides corti Anjing, kucing, karnivora lain, serta manusia Kumbang tahi, tungau oribatida, katak, dan reptil lain
4 Taeniideorida Taeniarhyncus a. Taeniarhyncus saginatus Manusia Sapi
5 Taeniideorida Multiceps a. Multiceps multiceps Anjing, anjing hutan, sreigala, rubah Domba, kambing, kuda, sapi
b. Multiceps serialis Anjing, srigala, rubah Kelinci, terwelu, coypus, tupai
6 Taeniideorida Moniezia a. Moniezia expansa Domba, sapi, dan ruminansia lain Tungau rumput oribatida
b. Moniezia benedeni Sapi, domba, dan ruminansia lain Tungau rumput oribatida
7 Dipyliidideorida Dihylidium a. Dipylidium caninm Anjing, kucing Pinjal, dan kutu
b. Dipylidium sexcoronatum Kucing Kutu
8 Davaineideorida Davainea a. davainea proglotina Ayam, merpati, dan burung jenis lain Siput
1)Ada tiga batil isap, sebutkan bentuk dan contohnya!
1.Alat isap yang berbentuk saluran (bothria, suctorial grooves), contohnya pada Diphylobothrium latum.
2.Alat isap berbentuk cawan (sucking disk), misalnya pada Taenia saginata.
3.Alat isap berbentuk cawan dengan rostellum yang dilengkapi dengan kait – kait chitine, misalnya pada Taenia solium.
2)Apakah fungsi dari :
1.Tegument
Tegument berada di permukaan tubuh, berfungsi sebagai tempat penyerapan makanan dari luar dan sebagai pelindung tubuh.
2.Respirasi
Sistem respirasinya melalui difusi pada permukaan tubuh, berfungsi untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida.
3.Reproduksi
Cestoda merupakan parasit yang bersifat hermaprodit, berfungsi untuk alat perkembangbiakan, alat kelamin jantan terdiri dari testis yang banyak, vas efferens, vas deferens, dan sirus, sedangkan alat kelamin betina terdiri dari ovarium, oviduct, reseptakulum seminalis, dan vagina. Kedua alat kelamin ini ada disetiap proglotid. Dan itu sebabnya ada beberapa ilmuan yang mengatakan bahwa cacing pita ini adalah bentuk koloni.
No Tipe dewasa H. definitif H. intermediet Tipe larva Rostellum (ada /tidak)
1. Diphylobothrium latum Anjing, kucing, rubah, beruang, karnivora lain, dan manusia Cyclops, diaptomus, dan ikan – ikan air tawar (salmon) Tipe solid Tidak
2 Raillietina cesticillus Ayam, burungkuau, dan jenis unggas lainnya Kumbang tinja, kumbang tanah, kumbang hitam, kumbang tepung Cycticercoid Ada
3 Diphylidium caninum Anjing, kucing, dan binatang buas Pinjal (Ctenosephalides canis, C. felis, dan Pulex irritans) Cysticercoid Ada
4 Hymenolepis diminuta Tikus (rats, mice) Kutu tikus, kumbang, lipas, kupu – kupu Cysticercoid Ada
5 Taenia solium Manusia Babi Cysticercus Ada
6 Multiceps multiceps Anjing, anjing hutan, srigala Domba, sapi, kuda, kambing Coenurus Ada
7 Echinococus granulosus Anjing, srigala, dan anjing hutan, serta carnivora lain. Ungulata (domba, dapi, kambing) Hydatida Ada
4) Klasifikasi cestoda
No Ordo Genus Spesies H. definitif H. intermediet
1 Diphyllideorida Diphylobothrium a. Diphylobothrium latum Anjing, kucing, manusia Cyclops, diaptomus, ikan air tawar (salmon)
b. Diphilobothrium mansoni Anjing, kucing Manusia
2 diphyllideorida Spirometra a. Spirometra mansoni Anjing, kucing, Copepoda, katak, ular, burung, dan bahkan mamalia
b. Spirometra mansonoides Famili kucing, anjing, Copepoda, amfibi, reptil.
3 Mesocestoidideorida Mesocestoida a. Mesocestoides corti Anjing, kucing, karnivora lain, serta manusia Kumbang tahi, tungau oribatida, katak, dan reptil lain
4 Taeniideorida Taeniarhyncus a. Taeniarhyncus saginatus Manusia Sapi
5 Taeniideorida Multiceps a. Multiceps multiceps Anjing, anjing hutan, sreigala, rubah Domba, kambing, kuda, sapi
b. Multiceps serialis Anjing, srigala, rubah Kelinci, terwelu, coypus, tupai
6 Taeniideorida Moniezia a. Moniezia expansa Domba, sapi, dan ruminansia lain Tungau rumput oribatida
b. Moniezia benedeni Sapi, domba, dan ruminansia lain Tungau rumput oribatida
7 Dipyliidideorida Dihylidium a. Dipylidium caninm Anjing, kucing Pinjal, dan kutu
b. Dipylidium sexcoronatum Kucing Kutu
8 Davaineideorida Davainea a. davainea proglotina Ayam, merpati, dan burung jenis lain Siput
PENYAKIT NGOROK (SEPTIKEMIA EPIZOOTIKA )
PENYAKIT NGOROK (SEPTIKEMIA EPIZOOTIKA )
Sinonim : Septicemia Epizootika (SE), Septicemia Hemorrhagica, Hemorrhagic Septicemia, Barbone
Septicemia merupakan bentuk khusus dari pasteurelosis, seperti halnya tifoid yang merupakan bentuk khusus dari salmonelosis. Septicemia merupakan penyakit terseifat pada kerbau, sapi, dan kadang-kadang pada spesies lainnya, misalnya babi, kijang, dan gajah. Pernah juga dilaporkan terjadi pada kuda. Penyebab penyakit SE di Asia adalah Pasteurella multocida serotype B:2, sedangkan di Afrika SE disebabkan oleh kuman P. multocida serotipe E:2.
Epidemiologi
Penyakit SE terdapat di semua wilayah tropis dan subtropis. Kelanggengan infeksi di suatu daerah disebabkan oleh adanya hewan pembawa (carrier) yang jumlahnya bertambah besar tiap kali ada wabah. Jumlah hewan pembawa lama-kelamaan menyusut, terutama bila program vaksinasi dilaksanakan. Meskipun vaksinasi massal dilaksanakan teratur tiap tahun beberapa hewan pembawa akan tetap ada, hingga proses pemberantasan dengan vaksinasi ini dipandang tidak baik. Apabila kejadian SE klinis timbul, yang berasal dari infeksi dalam maupun luar, sejumlah besar kuman pasteurella akan dibebaskan ke tempat sekitarnya dan dapat hidup untuk waktu yang relative panjang, lebih kurang 1 minggu, yang kemudian dapat menulari hewan disekitar penderita yang sekelompok. Wabah terbesar dengan korban ratusan penderita telah terjadi pada kerbau dalam kelompok besar dalam wilayah yang airnya cukup terjamin. Diantara yang sembuh, infeksi subklinis adalah yang paling sering dijumpai serta diikuti dengan kekebalan alami yang mungkin sampai 50 % dari kelompok ternak. Kekebalan tersebut kemudian akan menurun sejalan dengan tingginya kadar antibody tersifat di dalam serum dan mungkin berlangsung selama lebih kurang 1 tahun. Kuman pasteurella tidak mampu tinggal lama di tanah atau di air. De alwis, Gupta, dan peneliti lainnya menyatakan bahwa sapi dan kerbau merupakan hewan pembawa sendiri dan melanggengkan penyakit disuatu daerah. Kebanyakan wabah di Asia terjadi pada musim hujan meskipun kematian dapat terjadi disetiap data di sepanjang tahun.
Pathogenesis
Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Gerbang utama pemasukan pasteurella rupanya terletak di daerah tonsil. Pembengkakan daerah tekak merupakan gejala awal dari penyakit. Pada hewan-hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau muda yang tidak kebal, septicemia akan segera terjadi dengan bakterimia pasif yang bersifat terminal. Meskipun beberapa protein yang berdifat toksik dalam jumlah kecil telah ditemukan dalam kuman pasteurela, eksotoksin yang konvensional tidak pernah berhasil ditunjukkan adanya. Gejala-gejala dan lesi bersifat konsisten dengan kejaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang sepenuhnya rentan, kematian dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi. Beberapa sapi asia asli memiliki ketahanan yang lebih tinggi, dan jalan penyakit pada sapi-sapi tersebut menjadi kurang cepat, dengan kematian terjadi setelah 3 atau 4 hari.
Gejala-gejala
Kejadian penyakit di lapangan atau pun secara percobaan pada kerbau ditandai dengan kedunguan, salivsi, serta demam yang mencapai sekitar 40-410C. Pada waktu penyakit berkembang penderita terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Penyakit dengan bentuk tenggorokan yang umum, ditandai dengan busung yang meluas kedaerah leher bagian ventral sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga satu atau dua kaki muka. Pada penderita yang sepenuhnya rentan, busung bersifat difus, dengan batas tepi yang meluas. Tekanan pembuluh darah balik menurun dan dalam keadaan terminal diikuti dengan shock endotoksin. Kuman pasteurela dapat diisolasi dari tinja, kemih, air susu, dan saliva sebelum selama hewan dalam keadaan sekarat. Dalam keadaan demikian penderita merupakan sumber penularan bagi hewan yang lain.
Fibrinogen darah meningkat semejak gejala mulai tampak. Dalam percobaan infeksi terhadap hewan percobaan, adanya kuman di dalam darah (bakterimia), yang hanya dapat dikenal secara penanaman kuman, dan tidak secara mikrodkopik, terjadi dalam waktu 12 jam. Hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau, biasanya mengalami kematian dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi.
Pemeriksaan patologi-anatomis
Dalam seksi terlihat adanya busung pada glottis dan jaringan-jaringan perilaringeal maupun peritracheal. Perdarahan titik mungkin terlihat pada selaput lender organ-organ tubuh, sedangkan cairan busung tidak tercampur darah. Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut Nampak mengalami bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai usus besar. Diare berat berdarah dijumpai setelah injeksi lipopolisakarida kuman serotype B:2 yang dimurnikan. Mungkin zat tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya lesi dalam usus serta gejala-gejala pada kejadian lapangan. Selain dari perubahan-perubahan toksik dalam septicemia, hanya sedikit saja lesi yang khusus yang ditemukan pada organ-organ lain. Perdarahan yang timbul, meskipun nama penyakit adalah hemorrhagic septicemia, tidaklah begitu menonjol seperti misalnya pada keracunan tanaman bangsa paku-pakuan, bracken fern. Sapi biasanya menunjukkan perubahan patologik yang bervariasi, misalnya radang paru-paru. Hal tersebut terjadi karena umumnya sapi-sapi penderita dapat bertahan dari penyakit untuk waktu yang lebih lama.
Diagnosis
Apabila busung tekak dijumpai, diagnosis segera dapat ditentukan berdasarkan gejala-gejala klinis. Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan daerah tekak dan leher mungkin terkacaukan dengan antraks, sampar sapi atau pasteurellosis yang disebabkan oleh kuman pasteurela serotype yang lain. Penderita hamper selalu mengalami kematian pada fase bakterimia. Pasteurela dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan perikard, dan sebagainya. Kuman dapat dilihat dengan jelas, dengang pewarnaan Romanowsky, sedangkan di laboratorium yang paling banyak digunakan adalah pewarnaan Leishman yang diencerkan.
Kelinci merupakan hewan percobaan yang sangat peka terhadap kuman pasteurel meskipun jumlah yang disuntikkan hanya sedikit sekali. Mencit terbukti juga memiliki kepekaan yang serupa dan harganyapun jauh lebih murah, sedangkan marmot tidak begitu peka terhadap kuman tersebut. Itik dan ayam yang disuntikkan dengan kuman dari serotype B:2 tidak mengalami perubahan, kecuali apabila dosis suntikkannya sangat besar. Burung perkutut terbukti memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi buatan di laboratorium.
Uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah digunakan dalam penentuan diagnosis. Galur kuman serotype B:2 dan E:2 merupakan biotipe tersendiri secara mofologik, sifat biakan maupun sifat-sifat biokimiawinya. Kedua serotype tersebut hanya dapat dibedakan secara uji serologik.
Terapi dan pengendalian
Karena cepatnya jalan penyakit SE pengobatan yang memberikan hasil baik sukar diperoleh. Dalam percobaan sediaan sulfadimidine dan antibiotika berspektrum luas memiliki sifat kuratif, bila diberikan sedini mungkin dan dengan dosis yang penuh. Titik balik untuk pengobatan berada diantara 12-18 jam setelah terjadinya infeksi, di saat kuman dapat dibersihkan penderita tetap mengalami kematian. Antiserum yang digabung dengan obat-obatan masih mempunyai daya menyembuhkan, akan tetapi produksinya sekarang sudah sangat berkurang apabila dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau. Karena penyembuhan dengan cara yang efektif tidak memungkinkan, maka pencegahan dengan cara vaksinasi adalah cara yang terbaik untuk ditempuh.
Untuk megetahui tingkat kekebalan kelompok maupun individu dari suatu kegiatan vaksinasi SE dapat dilakukan uji passive mouse protection test (PMPT) dan ELISA, yang keduanya biasanya memberikan hasil yang parallel. Uji dengan PCR hasilnya juga sangat mayakinkan, akan tetapi tidak banyak laboratorium yang melakukannya karena alasan keterbatasan sarana dan prasarana.
Sinonim : Septicemia Epizootika (SE), Septicemia Hemorrhagica, Hemorrhagic Septicemia, Barbone
Septicemia merupakan bentuk khusus dari pasteurelosis, seperti halnya tifoid yang merupakan bentuk khusus dari salmonelosis. Septicemia merupakan penyakit terseifat pada kerbau, sapi, dan kadang-kadang pada spesies lainnya, misalnya babi, kijang, dan gajah. Pernah juga dilaporkan terjadi pada kuda. Penyebab penyakit SE di Asia adalah Pasteurella multocida serotype B:2, sedangkan di Afrika SE disebabkan oleh kuman P. multocida serotipe E:2.
Epidemiologi
Penyakit SE terdapat di semua wilayah tropis dan subtropis. Kelanggengan infeksi di suatu daerah disebabkan oleh adanya hewan pembawa (carrier) yang jumlahnya bertambah besar tiap kali ada wabah. Jumlah hewan pembawa lama-kelamaan menyusut, terutama bila program vaksinasi dilaksanakan. Meskipun vaksinasi massal dilaksanakan teratur tiap tahun beberapa hewan pembawa akan tetap ada, hingga proses pemberantasan dengan vaksinasi ini dipandang tidak baik. Apabila kejadian SE klinis timbul, yang berasal dari infeksi dalam maupun luar, sejumlah besar kuman pasteurella akan dibebaskan ke tempat sekitarnya dan dapat hidup untuk waktu yang relative panjang, lebih kurang 1 minggu, yang kemudian dapat menulari hewan disekitar penderita yang sekelompok. Wabah terbesar dengan korban ratusan penderita telah terjadi pada kerbau dalam kelompok besar dalam wilayah yang airnya cukup terjamin. Diantara yang sembuh, infeksi subklinis adalah yang paling sering dijumpai serta diikuti dengan kekebalan alami yang mungkin sampai 50 % dari kelompok ternak. Kekebalan tersebut kemudian akan menurun sejalan dengan tingginya kadar antibody tersifat di dalam serum dan mungkin berlangsung selama lebih kurang 1 tahun. Kuman pasteurella tidak mampu tinggal lama di tanah atau di air. De alwis, Gupta, dan peneliti lainnya menyatakan bahwa sapi dan kerbau merupakan hewan pembawa sendiri dan melanggengkan penyakit disuatu daerah. Kebanyakan wabah di Asia terjadi pada musim hujan meskipun kematian dapat terjadi disetiap data di sepanjang tahun.
Pathogenesis
Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Gerbang utama pemasukan pasteurella rupanya terletak di daerah tonsil. Pembengkakan daerah tekak merupakan gejala awal dari penyakit. Pada hewan-hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau muda yang tidak kebal, septicemia akan segera terjadi dengan bakterimia pasif yang bersifat terminal. Meskipun beberapa protein yang berdifat toksik dalam jumlah kecil telah ditemukan dalam kuman pasteurela, eksotoksin yang konvensional tidak pernah berhasil ditunjukkan adanya. Gejala-gejala dan lesi bersifat konsisten dengan kejaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang sepenuhnya rentan, kematian dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi. Beberapa sapi asia asli memiliki ketahanan yang lebih tinggi, dan jalan penyakit pada sapi-sapi tersebut menjadi kurang cepat, dengan kematian terjadi setelah 3 atau 4 hari.
Gejala-gejala
Kejadian penyakit di lapangan atau pun secara percobaan pada kerbau ditandai dengan kedunguan, salivsi, serta demam yang mencapai sekitar 40-410C. Pada waktu penyakit berkembang penderita terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Penyakit dengan bentuk tenggorokan yang umum, ditandai dengan busung yang meluas kedaerah leher bagian ventral sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga satu atau dua kaki muka. Pada penderita yang sepenuhnya rentan, busung bersifat difus, dengan batas tepi yang meluas. Tekanan pembuluh darah balik menurun dan dalam keadaan terminal diikuti dengan shock endotoksin. Kuman pasteurela dapat diisolasi dari tinja, kemih, air susu, dan saliva sebelum selama hewan dalam keadaan sekarat. Dalam keadaan demikian penderita merupakan sumber penularan bagi hewan yang lain.
Fibrinogen darah meningkat semejak gejala mulai tampak. Dalam percobaan infeksi terhadap hewan percobaan, adanya kuman di dalam darah (bakterimia), yang hanya dapat dikenal secara penanaman kuman, dan tidak secara mikrodkopik, terjadi dalam waktu 12 jam. Hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau, biasanya mengalami kematian dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi.
Pemeriksaan patologi-anatomis
Dalam seksi terlihat adanya busung pada glottis dan jaringan-jaringan perilaringeal maupun peritracheal. Perdarahan titik mungkin terlihat pada selaput lender organ-organ tubuh, sedangkan cairan busung tidak tercampur darah. Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut Nampak mengalami bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai usus besar. Diare berat berdarah dijumpai setelah injeksi lipopolisakarida kuman serotype B:2 yang dimurnikan. Mungkin zat tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya lesi dalam usus serta gejala-gejala pada kejadian lapangan. Selain dari perubahan-perubahan toksik dalam septicemia, hanya sedikit saja lesi yang khusus yang ditemukan pada organ-organ lain. Perdarahan yang timbul, meskipun nama penyakit adalah hemorrhagic septicemia, tidaklah begitu menonjol seperti misalnya pada keracunan tanaman bangsa paku-pakuan, bracken fern. Sapi biasanya menunjukkan perubahan patologik yang bervariasi, misalnya radang paru-paru. Hal tersebut terjadi karena umumnya sapi-sapi penderita dapat bertahan dari penyakit untuk waktu yang lebih lama.
Diagnosis
Apabila busung tekak dijumpai, diagnosis segera dapat ditentukan berdasarkan gejala-gejala klinis. Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan daerah tekak dan leher mungkin terkacaukan dengan antraks, sampar sapi atau pasteurellosis yang disebabkan oleh kuman pasteurela serotype yang lain. Penderita hamper selalu mengalami kematian pada fase bakterimia. Pasteurela dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan perikard, dan sebagainya. Kuman dapat dilihat dengan jelas, dengang pewarnaan Romanowsky, sedangkan di laboratorium yang paling banyak digunakan adalah pewarnaan Leishman yang diencerkan.
Kelinci merupakan hewan percobaan yang sangat peka terhadap kuman pasteurel meskipun jumlah yang disuntikkan hanya sedikit sekali. Mencit terbukti juga memiliki kepekaan yang serupa dan harganyapun jauh lebih murah, sedangkan marmot tidak begitu peka terhadap kuman tersebut. Itik dan ayam yang disuntikkan dengan kuman dari serotype B:2 tidak mengalami perubahan, kecuali apabila dosis suntikkannya sangat besar. Burung perkutut terbukti memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi buatan di laboratorium.
Uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah digunakan dalam penentuan diagnosis. Galur kuman serotype B:2 dan E:2 merupakan biotipe tersendiri secara mofologik, sifat biakan maupun sifat-sifat biokimiawinya. Kedua serotype tersebut hanya dapat dibedakan secara uji serologik.
Terapi dan pengendalian
Karena cepatnya jalan penyakit SE pengobatan yang memberikan hasil baik sukar diperoleh. Dalam percobaan sediaan sulfadimidine dan antibiotika berspektrum luas memiliki sifat kuratif, bila diberikan sedini mungkin dan dengan dosis yang penuh. Titik balik untuk pengobatan berada diantara 12-18 jam setelah terjadinya infeksi, di saat kuman dapat dibersihkan penderita tetap mengalami kematian. Antiserum yang digabung dengan obat-obatan masih mempunyai daya menyembuhkan, akan tetapi produksinya sekarang sudah sangat berkurang apabila dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau. Karena penyembuhan dengan cara yang efektif tidak memungkinkan, maka pencegahan dengan cara vaksinasi adalah cara yang terbaik untuk ditempuh.
Untuk megetahui tingkat kekebalan kelompok maupun individu dari suatu kegiatan vaksinasi SE dapat dilakukan uji passive mouse protection test (PMPT) dan ELISA, yang keduanya biasanya memberikan hasil yang parallel. Uji dengan PCR hasilnya juga sangat mayakinkan, akan tetapi tidak banyak laboratorium yang melakukannya karena alasan keterbatasan sarana dan prasarana.
Minggu, 14 November 2010
Tips Memilih Daging yang Baik dan Sehat
Menjelang idul adha biasanya permintaan konsumen akan daging meningkat drastis dari biasanya, hal ini dikarenakan amalan qurban dan adanya tradisi seperti di beberapa daerah yang selalu menyertai hari raya tersebut. Misalnya di Aceh tradisi memasak masakan dengan bahan baku daging sehari menjelang hari raya yang dikenal dengan istilah ma'meugang.
Oleh karena hal tersebut perlu kiranya kami sampaikan kriteria daging yang baik dan sehat bagi para konsumen yang hendak membeli daging agar daging yang di dapatkan berkualitas baik dan sehat, karena daging-daging yang tidak sehat. misalnya daging sapi gelonggongan, daging berformalin, dan daging Tiren (Mati Kemaren) dapat membahayakan kesehatan kita.
Kualitas Daging Yang Baik
untuk menentukan kualitas daging yang baik, kriteria yang digunakan biasanya adalah:
Bau dan rasa tidak normal akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan sebagai berikut :
Oleh karena hal tersebut perlu kiranya kami sampaikan kriteria daging yang baik dan sehat bagi para konsumen yang hendak membeli daging agar daging yang di dapatkan berkualitas baik dan sehat, karena daging-daging yang tidak sehat. misalnya daging sapi gelonggongan, daging berformalin, dan daging Tiren (Mati Kemaren) dapat membahayakan kesehatan kita.
Kualitas Daging Yang Baik
untuk menentukan kualitas daging yang baik, kriteria yang digunakan biasanya adalah:
- Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki konsistensi kenyal.
- Kandungan lemak ( marbling ) adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot ( intramuscular ). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada wkatu dipanaskan. Marbling berpengaruh terhadap cita rasa.
- Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetic dan usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daripada daging sapi perah, daging sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa.
Rasa dan Aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap. - Kelembaban : Secara normal daging mempunyai permukaan yang relative kering sehingga dapat menahan pertumbuhan mikroorganisme dari luar. Dengan demikian mempengaruhi daya simpan daging tersebut.
Bau dan rasa tidak normal akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan sebagai berikut :
- Hewan sakit terutama yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam yang akan menghasilkan daging berbau seperti mentega tengik.
- Hewan dalam pengobatan terutama dengan pengobatan antibiotic akan menghasilkan daging yang berbau obat – obatan.
- Warna daging tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan, namun akan mengurangi selera konsumen.
- Konsistensi daging tidak normal yang ditandai kekenyalan daging rendah ( jika ditekan dengan jari akan terasa lunak ) dapat mengindikasikan daging tidak sehat, apaila disertai dengan perubahan warna yang tidak normal maka daging tersebut tidak layak dikonsumsi.
- Daging busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen karena menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena terlalu lama dibiarkan ditempat terbuka dalam waktu relative lama pada suhu kamar, sehingga terjadi proses pemecahan protein oleh enzim – enzim dalam daging yang menghasilkan amoniak dan asam sulfide.
Langganan:
Postingan (Atom)