Kamis, 25 November 2010

Menilisik Latar Belakang Penelitian E. sakazakii pada Susu Formula

Menilisik Latar Belakang Penelitian E. sakazakii pada Susu Formula

Polemik susu formula bayi yang belakangan ini muncul ke permukaan mau tidak mau turut mencuatkan nama
DR. drh. Sri Estuningsih, M.Si yang tidak lain adalah salah satu peneliti IPB yang melakukan penelitian tersebut.
Medicastore berkesempatan mewawancarai DR. Estu, sapaan akrabnya. Tujuannya tak lain untuk menggali lebih dalam tentang bakteri Enterobacter sakazakii (E. sakazakii) yang dituding telah mengkontaminasi susu formula dan makanan bayi di Indonesia.
Ditemui di ruang kerjanya di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, siang itu DR. Estu terlihat segar dan bersemangat dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Berikut petikan wawancara dengan beliau.
Apa latar belakang dilakukannya penelitian terhadap susu formula dan makanan bayi ini?
Bagaimana kriteria susu formula yang digunakan sebagai sampel?
Siapa saja anggota penelitian ini?
Apa yang diharapkan dari hasil penelitian ini?
Hal apa yang berbahaya dari E. sakazakii?
Mengapa susu formula yang lebih beresiko?
Perlukah E. sakazakii dimasukkan dalam batas maksimum cemaran mikroba dalam produk susu?
Ada pesan tertentu untuk produsen susu dan makanan bayi?


 Apa latar belakang dilakukannya penelitian terhadap susu formula dan makanan bayi ini?  
Awalnya saya tidak mencari mengenai E. sakazakii karena di Indonesia belum ada kasus. Saya lebih menyoroti Salmonella, Shigella, dan E. coli karena ada kejadian diare pada bayi, walaupun tidak mewabah. Ketika bayi diare dikatakan susu atau makanannya tidak cocok, saya pikir ada hubungannya dengan produk yang dikonsumsi. Produk yang berkaitan dengan bayi hanya ada dua, susu formula dan follow-on formula. Jadi mungkin ada relevansi antara kontrol higiene dengan produk tersebut.
Saya melakukan penelitian awal di Jerman karena laboratoriumnya terakreditasi dan Jerman ditunjuk oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia) sebagai koordinator pengawasan mutu makanan dan susu bayi. Tahun 2003, Salmonella dan Shigella hasilnya negatif. Tapi ditemukan E. sakazakii sebanyak 13,5% (10 dari 74 sampel). Ternyata E. sakazakii berpotensi membuat enteritis, sepsis, dan meningitis. Ini hal serius. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau ini ada di susu formula bayi. Tahun 2004, setelah diteliti 46 merek, ada tiga merek yang terkontaminasi.
Tahun 2006 hasilnya cenderung lebih tinggi 22,73% pada susu formula dan 40% pada makanan bayi. Saya mengambil inisiatif. Ini harus dibicarakan. Tahun 2006 saya informasikan hasil penelitian tersebut ke BPOM. Saya jelaskan metode yang saya gunakan, mungkin cocok dengan yang biasa BPOM gunakan.
 Bagaimana kriteria susu formula yang digunakan sebagai sampel?  
Susu formula yang diteliti hanya untuk bayi berusia 0-6 bulan. Sementara seluruh sampel berasal dari produk lokal. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya, saya membeli susu di supermarket yang paling banyak dan sampai ke pelosok, sehingga diharapkan sampel yang serupa terdistribusi ke seluruh Indonesia.
 Siapa saja anggota penelitian ini?  
Tahun 2003 dan 2004 saya meneliti bersama teman-teman di Jerman. Tapi karena ada keharusan di IPB tidak boleh melakukan penelitian sendiri, maka tahun 2006 tim kami terdiri dari saya, Dr. I. Wayan T. Wibawan (sekarang Dekan FKH IPB), dan Dr. Rochman Naim yang sekarang hijrah ke Malaysia. Tahun 2007 saya dengan Dr. Wayan dan Drh. Hernomoadi Huminto, MVS.
 Apa yang diharapkan dari hasil penelitian ini?  
Dari awal saya berharap BPOM dapat memanfaatkan hasil penelitian ini. Meskipun jika ditinjau dari segi survei belum memadai, tapi ini merupakan inisiasi bagi BPOM untuk melakukan survei kewenangan sesuai tugas dan fungsinya.
Mungkin ini hanya masalah prioritas. Bisa saja di BPOM ini belum menjadi prioritas. Tapi bagi kami para peneliti, ini mempunyai arti yang cukup dalam. Misalnya seseorang terinfeksi, akibatnya bisa fatal atau cacat, kita tidak tahu kondisinya seperti apa. Semua belum terbuka, sehingga perlu terus dilakukan penelitian.
 Hal apa yang berbahaya dari E. sakazakii?  
E. sakazakii pada lingkungan biasa tidak patogen. Namun yang perlu dipelajari adalah mengapa jika E. sakazakii sudah berada di dalam susu formula, E. sakazakii mampu menjadi patogen. Sifatnya oportunistik. Dalam keadaan optimal, E. sakazakii bisa tumbuh mencapai fase eksponensial, membelah jadi banyak sekali dari 10 sampai jutaan. Kemudian E. sakazakii menghasilkan faktor virulen enterotoksin, sehingga dapat melakukan adhesi (menempel) ke sel epitel, dapat memasuki dan menembus pembuluh darah, kemudian menyebabkan peradangan. Hasilnya, dapat menyebabkan enteritis, sepsis, dan meningitis.
Tapi enterotoksin tidak dihasilkan di dalam susu formula. Jika sudah diminum, sudah adhesi, baru di situlah bakteri mulai keluar. Yang berbahaya jika badan bakteri masuk, kemudian hidup dan berbiak, ini yang bisa membuat sakit. Karenanya langkah yang paling penting dalam menghambat kontaminasi adalah membuat susu dengan air bersuhu 70 °C sehingga kalaupun ada badan bakteri, akan mati.
 Mengapa susu formula yang lebih beresiko?  
Begini, dalam proses pembuatan susu formula, setelah di pasteurisasi, dilakukan spray drying dengan mengalirkan udara panas agar susu yang tadinya berbentuk cair menjadi bubuk. Namun saat dilakukan fortifikasi (penambahan nutrisi lainnya) dimasukkan beberapa bahan yang mungkin tidak boleh terkena panas lagi. Jadi, kemungkinan di sinilah resikonya. Belum lagi jika ada pori-pori di alat yang tidak tercuci. Satu hal lagi, begitu terkena kontak dengan permukaan kasar, E. sakazakii akan membuat semacam biofilm (seperti selimut), sehingga agak sulit untuk dilakukan desinfeksi.
Saya yakin industri telah melaksanakan cGMP (current Good Manufacturing Practice). Tapi hendaknya dimonitor, sehingga jika ada kekurangan, masih ada kemungkinan untuk diperbaiki. Saya belum tahu bagian mana dari proses di industri yang rentan terkontaminasi E. sakazakii karena saya belum ada kesempatan untuk mengambil sampel dari setiap critical point. Umumnya industri memiliki data tercatat mulai dari raw material, pasca pasteurisasi, spray drying, blending (pencampuran), finishing, sampai sesudah dipasarkan.
Namun ada baiknya dilakukan audit internal dan eksternal. Audit internal dilakukan oleh bagian QC (Quality Control/Pengawasan Mutu) dari industri, sementara untuk audit eksternal ada baiknya meminta badan atau institusi yang dianggap kompeten untuk mengaudit. Salah satunya adalah BPOM, karena memang sudah tugasnya.
 Perlukah E. sakazakii dimasukkan dalam batas maksimum cemaran mikroba dalam produk susu? 
Pertanyaan ini sedang didiskusikan terus. Saat ini E. sakazakii baru sampai draf ke-4 (dalam konferensi kerangka acuan standar pangan dunia, Codex Alimentarius Commission, WHO-red) , finalnya sampai draf ke-8, jadi masih perlu waktu empat tahun lagi.
 Ada pesan tertentu untuk produsen susu dan makanan bayi?  
Saya kira sebisa mungkin mentaati apa yang sudah digariskan oleh peraturan (standar-red) yang mengikat di bidang mereka. Audit internal penting dilaksanakan. Kalau bisa audit eksternal juga dilakukan, baik oleh BPOM atau institusi lain (secara berkala-red).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

salam veteriner...