Senin, 27 Desember 2010

Pemanfaatan probiotik untuk peningkatan produksi pada unggas

By : Agus

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak dan berkembang pesat berakibat pula terhadap perkembangan usaha di sektor peternakan. Sektor peternakan dituntut untuk dapat menyediakan pangan yang cukup bagi penduduk Indonesia berupa protein hewani agar manusia-manusia Indonesia dapat menjadi manusia yang sehat, cerdas dan kuat. Untuk memenuhi permintaan akan protein hewani tersebut, salah satu sektor usaha peternakan yang cukup memadai untuk menjadi andalan adalah peternakan unggas, terutama ayam broiler dan ayam petelur. Usaha peternakan dibidang perunggasan (ayam) dewasa ini semakin berkembang pesat dan meningkat sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah penduduk yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan gizi proteinnya. Oleh karena itu usaha peternakan ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar selalu menguntungkan serta produk yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam indutri peternakan, khususnya peternakan unggas, pemberian makanan tambahan berupa feed aditive atau feed supplement biasa dilakukan. Pemberian feed 2 aditive tersebut dilakukan untuk memperbaiki performance / penampilan produksi dari ternak unggas. Bermacam-macam jenis feed aditive antara lain adalah obat-obatan, antibiotika atau hormon-hormon pertumbuhan. Akan tetapi pemberian feed aditiv tersebut belakangan ini tidak memuaskan karena sedikit banyak mempunyai efek samping yang kurang baik, baik terhadap hewan ternaknya sendiri, maupun terhadap
manusia yang mengkonsumsi hasil ternaknya. Sebagai contoh pemberian antibiotika dapat menyebabkan resistensi terhadap suatu jenis penyakit, sehingga penyakit tersebut sulit untuk disembuhkan dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya jenis penyakit baru. Penggunaan hormon-hormon pertumbuhan dapat menyebabkan efek yang kurang baik terhadap manusia yang mengkonsumsi hasil ternaknya, karena residu yang tertinggal dari hormon-hormon pertumbuhan pada daging atau telur ayam, secara tidak langsung akan ikut terkonsumsi juga oleh manusia yang memakannya dan terakumulasi dalam tubuh. Belakangan ini mulai berkembang makanan tambahan jenis baru berupa probiotika. Probiotika merupakan suatu makanan tambahan atau feed aditive yang berupa mikroorganisme hidup, baik bakteri maupun yeast/kapang yang diberikan melalui campuran ransum atau air minum. Adapun tujuan pemberian probiotika adalah untuk memperbaiki keseimbangan populasi mikroba didalam saluran pencernaan, dimana mikroba-mikroba yang menguntungkan populasinya akan meningkat dan menekan pertumbuhan mikroba yang merugikan yang sebagian besar adalah mikroba penyebab penyakit (mikroba patogen). Pemakaian probiotika ini tidak mempunyai pengaruh yang negatif baik kepada ternaknya sendiri, maupun kepada manusia yang mengkonsumsi hasil ternaknya. Pemberian probiotika juga sering digunakan sebagai alternatif untuk membatasi penggunaan antibiotika yang terlalu sering dalam pengobatan penyakit, untuk menghindari resistensi suatu jenis penyakit. Selain itu pemberian probiotika juga dapat digunakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kontaminasi mikroba penyebab penyakit (mikroba patogenik) terhadap produk-produk hasil unggas, sehingga produkproduk yang dihasilkan terjaga kehigienisannya. Dengan demikian pemberian probiotika pada ternak unggas diharapkan akan mampu memperbaiki penampilan produksinya baik kuantitas yaitu jumlah ternak, daging atau telur yang dihasilkan lebih banyak, maupun kualitasnya berupa produk-produk yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.

Sabtu, 18 Desember 2010

BUDIDAYA AYAM BROILER (PEDAGING)



A. Pendahuluan
Ayam Pedaging (Broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat (5-7 minggu). Broiler mempunyai peranan yang penting sebagai sumber protein hewani asal ternak.

B. Pemilihan Bibit
Bibit yang baik mempunyai ciri : sehat dan aktif bergerak, tubuh gemuk (bentuk tubuh bulat), bulu bersih dan kelihatan mengkilat, hidung bersih, mata tajam dan bersih serta lubang kotoran (anus) bersih

C. Kondisi Teknis yang Ideal
a. Lokasi kandang
Kandang ideal terletak di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk, mudah dicapai sarana transportasi, terdapat sumber air, arahnya membujur dari timur ke barat.
b.Pergantian udara dalam kandang.
Ayam bernapas membutuhkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Supaya kebutuhan oksigen selalu terpenuhi, ventilasi kandang harus baik.
c.Suhu udara dalam kandang.
Suhu ideal kandang sesuai umur adalah :

Umur (hari)     Suhu ( 0C )
01 - 07     34 - 32
08 - 14     29 - 27
15 - 21     26 - 25
21 - 28     24 - 23
29 - 35     23 - 21

d.Kemudahan mendapatkan sarana produksi
Lokasi kandang sebaiknya dekat dengan poultry shop atau toko sarana peternakan.

D. Tata Laksana Pemeliharaan
1 Perkembangan
Tipe kandang ayam Broiler ada dua, yaitu bentuk panggung dan tanpa panggung (litter). Tipe panggung lantai kandang lebih bersih karena kotoran langsung jatuh ke tanah, tidak memerlukan alas kandang sehingga pengelolaan lebih efisien, tetapi biaya pembuatan kandang lebih besar. Tipe litter lebih banyak dipakai peternak, karena lebih mudah dibuat dan lebih murah.
Pada awal pemeliharaan, kandang ditutupi plastik untuk menjaga kehangatan, sehingga energi yang diperoleh dari pakan seluruhnya untuk pertumbuhan, bukan untuk produksi panas tubuh. Kepadatan kandang yang ideal untuk daerah tropis seperti Indonesia adalah 8-10 ekor/m2, lebih dari angka tersebut, suhu kandang cepat meningkat terutama siang hari pada umur dewasa yang menyebabkan konsumsi pakan menurun, ayam cenderung banyak minum, stress, pertumbuhan terhambat dan mudah terserang penyakit.

2. Pakan
- Pakan merupakan 70% biaya pemeliharaan. Pakan yang diberikan harus memberikan zat pakan (nutrisi) yang dibutuhkan ayam, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, sehingga pertambahan berat badan perhari (Average Daily Gain/ADG) tinggi. Pemberian pakan dengan sistem ad libitum (selalu tersedia/tidak dibatasi).
- Apabila menggunakan pakan dari pabrik, maka jenis pakan disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan ayam, yang dibedakan menjadi 2 (dua) tahap. Tahap pertama disebut tahap pembesaran (umur 1 sampai 20 hari), yang harus mengandung kadar protein minimal 23%. Tahap kedua disebut penggemukan (umur diatas 20 hari), yang memakai pakan berkadar protein 20 %. Jenis pakan biasanya tertulis pada kemasannya.
- Efisiensi pakan dinyatakan dalam perhitungan FCR (Feed Convertion Ratio). Cara menghitungnya adalah, jumlah pakan selama pemeliharaan dibagi total bobot ayam yang dipanen.

Contoh perhitungan :
Diketahui ayam yang dipanen 1000 ekor, berat rata-rata 2 kg, berat pakan selama pemeliharaan 3125 kg, maka FCR-nya adalah :
Berat total ayam hasil panen =
1000 x 2 = 2000 kg
FCR = 3125 : 2000 = 1,6
Semakin rendah angka FCR, semakin baik kualitas pakan, karena lebih efisien (dengan pakan sedikit menghasilkan bobot badan yang tinggi).

3. Vaksinasi
Vaksinasi adalah pemasukan bibit penyakit yang dilemahkan ke tubuh ayam untuk menimbulkan kekebalan alami. Vaksinasi penting yaitu vaksinasi ND/tetelo. Dilaksanakan pada umur 4 hari dengan metode tetes mata, dengan vaksin ND strain B1 dan pada umur 21 hari dengan vaksin ND Lasotta melalui suntikan atau air minum.



4. Teknis Pemeliharaan
-    1. Pemberian Pakan dan Minuman
      Untuk pemberian pakan ayam ras broiler ada 2 (dua) fase yaitu fase starter (umur 0-4 minggu) dan fase finisher (umur 4-6 minggu).

a.         Kualitas dan kuantitas pakan fase starter adalah sebagai berikut:

-   kualitas atau kandungan zat gizi pakan terdiri dari protein 22-24%, lemak 2,5%, serat kasar 4%, Kalsium (Ca) 1%, Phospor (P) 0,7-0,9%, ME 2800-3500 Kcal.

-   kuantitas pakan terbagi/digolongkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu minggu pertama (umur 1-7 hari) 17 gram/hari/ekor, minggu kedua (umur 8-14 hari) 43 gram/hari/ekor, minggu ke-3 (umur 15-21 hari) 66 gram/hari/ekor dan minggu ke-4 (umur 22-29 hari) 91 gram/hari/ekor.
Jadi jumlah pakan yang dibutuhkan tiap ekor sampai pada umur 4 minggu sebesar 1.520 gram.



b.         Kualitas dan kuantitas pakan fase finisher adalah sebagai berikut:

-   kualitas atau kandungan zat gizi pakan terdiri dari protein 18,1-21,2%; lemak 2,5%, serat kasar 4,5%, kalsium (Ca) 1%, Phospor (P) 0,7-0,9% dan energi (ME) 2900-3400 Kcal.

-   kuantitas pakan terbagi/digolongkan dalam empat golongan umur yaitu: minggu ke-5 (umur 30-36 hari) 111 gram/hari/ekor, minggu ke-6 (umut 37-43 hari) 129 gram/hari/ekor, minggu ke-7 (umur 44-50 hari) 146 gram/hari/ekor dan minggu ke-8 (umur 51-57 hari) 161 gram/hari/ekor. Jadi total jumlah pakan per ekor pada umur 30-57 hari adalah 3.829 gram.



   1. Pemberian minum disesuaikan dangan umur ayam yang dikelompokkan dalam 2 (dua) fase yaitu:

a.  Fase starter (umur 1-29 hari), kebutuhan air minum terbagi lagi pada masing-masing minggu, yaitu minggu ke-1 (1-7 hari) 1,8 lliter/hari/100 ekor; minggu ke-2 (8-14 hari) 3,1 liter/hari/100 ekor, minggu ke-3 (15-21 hari) 4,5 liter/hari/100 ekor dan minggu ke-4 (22-29 hari) 7,7 liter/hari/ekor. Jadi jumlah air minum yang dibutuhkan sampai umur 4 minggu adalah
sebanyak 122,6 liter/100 ekor. Pemberian air minum pada hari pertama hendaknya diberi tambahan gula dan obat anti stress kedalam air minumnya. Banyaknya gula yang diberikan adalah 50 gram/liter air.

b.  Fase finisher (umur 30-57 hari), terkelompok dalam masing-masing minggu yaitu minggu ke-5 (30-36 hari) 9,5 liter/hari/100 ekor, minggu ke-6 (37-43 hari) 10,9 liter/hari/100 ekor, minggu ke-7 (44-50 hari) 12,7 liter/hari/100 ekor dan minggu ke-8 (51-57 hari) 14,1 liter/hari/ekor. Jadi total air minum 30-57 hari sebanyak 333,4 liter/hari/ekor.



4.5. Penyakit
Penyakit yang sering menyerang ayam broiler yaitu :
- Tetelo (Newcastle Disease/ND)
Disebabkan virus Paramyxo yang bersifat menggumpalkan sel darah. Gejalanya ayam sering megap-megap, nafsu makan turun, diare dan senang berkumpul pada tempat yang hangat. Setelah 1 - 2 hari muncul gejala syaraf, yaitu kaki lumpuh, leher berpuntir dan ayam berputar-putar yang akhirnya mati. Ayam yang terserang secepatnya dipisah, karena mudah menularkan kepada ayam lain melalui kotoran dan pernafasan. Belum ada obat yang dapat menyembuhkan, maka untuk mengurangi kematian, ayam yang masih sehat divaksin ulang dan dijaga agar lantai kandang tetap kering.
- Gumboro (Infectious Bursal Disease/IBD)
Merupakan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang disebabkan virus golongan Reovirus. Gejala diawali dengan hilangnya nafsu makan, ayam suka bergerak tidak teratur, peradangan disekitar dubur, diare dan tubuh bergetar-getar. Sering menyerang pada umur 36 minggu. Penularan secara langsung melalui kotoran dan tidak langsung melalui pakan, air minum dan peralatan yang tercemar. Belum ada obat yang dapat menyembuhkan, yang dapat dilakukan adalah pencegahan dengan vaksin Gumboro.
- Penyakit Ngorok (Chronic Respiratory Disease)
Merupakan infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum Gejala yang nampak adalah ayam sering bersin dan ingus keluar lewat hidung dan ngorok saat bernapas. Pada ayam muda menyebabkan tubuh lemah, sayap terkulai, mengantuk dan diare dengan kotoran berwarna hijau, kuning keputih-keputihan. Penularan melalui pernapasan dan lendir atau melalui perantara seperti alat-alat. Pengobatan dapat dilakukan dengan obat-obatan yang sesuai.
- Berak Kapur (Pullorum).
Disebut penyakit berak kapur karena gejala yang mudah terlihat adalah ayam diare mengeluarkan kotoran berwarna putih dan setelah kering menjadi seperti serbuk kapur. Disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum.
Kematian dapat terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi. Penularan melalui kotoran. Pengobatan belum dapat memberikan hasil yang memuaskan, yang sebaiknya dilakukan adalah pencegahan dengan perbaikan sanitasi kandang.
Infeksi bibit penyakit mudah menimbulkan penyakit, jika ayam dalam keadaan lemah atau stres. Kedua hal tersebut banyak disebabkan oleh kondisi lantai kandang yang kotor, serta cuaca yang jelek. Cuaca yang mudah menyebabkan ayam lemah dan stres adalah suhu yang terlalu panas, terlalu dingin atau berubah-ubah secara drastis. Penyakit, terutama yang disebabkan oleh virus sukar untuk disembuhkan. Untuk itu harus dilakukan sanitasi secara rutin dan ventilasi kandang yang baik.

4.6. Sanitasi/Cuci Hama Kandang
Sanitasi kandang harus dilakukan setelah panen. Dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu pencucian kandang dengan air hingga bersih dari kotoran limbah budidaya sebelumnya. Tahap kedua yaitu pengapuran di dinding dan lantai kandang. Untuk sanitasi yang sempurna selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan formalin, untuk membunuh bibit penyakit. Setelah itu dibiarkan minimal selama 10 hari sebelum budidaya lagi untuk memutus siklus hidup virus dan bakteri, yang tidak mati oleh perlakuan sebelumnya.

Rabu, 15 Desember 2010

CANINE PARVO VIRUS

CANINE PARVO VIRUS
by: scoobydoo

Canine parvovirus adalah salah satu virus yang paling umum menyerang anjing di Indonesia terutama anak anjing dibawah 6 bulan. Parvo adalah penyakit yang sangat menular dengan tanda-tanda diare akut yang kebanyakan berdarah. Parvo disebabkan oleh pathogen yand disebut Canine Parvo Virus, type 2 (CPV-2).

Vaksinasi yang kita punyai sekarang dapat menolong penyebaran dari virus parvo ini, tetapi meskipun sudah divaksinasi, ada beberapa kasus dimana anjing kita masih dapat terjangkit dan mati oleh karena parvo virus.

Dengan adanya artikel ini, Team DuniaAnjing.com mengharapkan para pemilik anjing dapat lebih mengerti dan mengenal parvo virus, sehingga dapat membuat keputusan yang baik untuk mengurangi sampai mencegah terjadinya penyebaran virus ini.

Bagaimana Parvo Virus menular ?
CPV-2 dapat bertahan dan hidup menempel di lingkungan sekitar kita, seperti misalnya pakaian, tempat makan dan kandang untuk lebih dari 5 bulan dalam kondisi yang baik baginya. Kuman ataupun kecoak dapat pula menjadi alat penyebaran penyakit ini. Semua parvo virus sangat stabil dan tahan dengan kondisi lingkungan sekitarnya seperti pH yang rendah maupun suhu yang tinggi/panas. Penggunaan ultraviolet light atau cahaya matahari dan sodium hypochlorite (bleach/pemutih dicampur dengan air secukupnya / setengah gelas bleach dicampur dengan 1.5 liter air), dapat melumpuhkan parvo virus. Masa inkubasi parvo virus (waktu dari mulainya terjangkit oleh parvo virus sampai muncul tanda-tandanya) adalah sekitar 7 – 14 hari. Pendarahan pada kotoran anjing kita dapat mulai terlihat dalam waktu 2-3 hari setelah terjangkit virus ini, sering tanpa tanda-tanda yang lain, dan kemudian akan berakhir dalam waktu 1-2 minggu.

Symptoms/Gejala-gejala
Gejala-gejala yang dapat timbul pada anjing kita yang terserang parvo virus sangatlah beragam. Kebanyakan anjing dewasa yang terserang parvo virus hanya menunjukan sedikit gejala-gejala. Pada umumnya gejala-gejala yang jelas terlihat pada anjing-anjing yang berumur dibawah 6 bulan, dengan kasus-kasus yang paling parah terjadi pada anak anjing yang baru berumur sekitar 12 minggu. Response terhadap serangan virus CPV-2, baik infeksi maupun vaksinasi juga berbeda antara satu trah dengan trah yang lainnya. Trah yang paling banyak terkena kasus ini adalah Rottweiler, Doberman & Labrador Retriever.

Bentuk yang paling umum dari penyakit yang disebabkan oleh parvo virus (Enteritis) ditandai dengan muntah-muntah (kadang akut), diare, dehidrasi, kotoran yang kehitaman/berdarah dan dalam kasus-kasus yang parah, demam dan terjadi penurunan jumlah sel darah putih dalam darah. Acute CPV-2 enteritis dapat terjadi pada anjing trah, jenis kelamin, dan umur berapa saja. Penyebaran virus ini sangat cepat dan kematian dapat terjadi bahkan pada hari ke dua setelah anjing kita diserang oleh parvo virus terutama pada anak anjing. Adanya bakteri & parasit atau virus-virus yang lain pada anjing yang sedang diserah oleh parvo virus akan memperparah kerusakan yang disebabkan oleh parvo virus dan juga proses recovery yang lambat.

Diagnosa
Tidak semua kasus diare yang mengeluarkan darah atau muntah disebabkan oleh parvo virus, dan banyak sekali anak anjing yang salah didiagnosa bahwa terkena parvo virus. Satu-satunya cara untuk mengetahui anjing kita terkena Parvo virus adalah melalui “positive Diagnostic test”. Di sisi yang lain dapat pula melakukan beberapa test yang lebih memakan waktu dan juga biaya, yaitu dengan melakukan test secara tradisional, dengan melakukan check darah, dan juga metode terbaru dan sangat simple test pada kotoran dengan menggunakan “enzyme-linked immunosorbent assay antigen test (ELISA)” yang sekarang sudah banyak tersedia di klinik-klinik hewan. Hanya dengan di test saja baru kita dapat memastikan apakah terserang parvo virus atau bukan dan memberikan pengobatan terhadap penyakit ini.

Pengobatan / Treatment
Pengobatan terhadap parvo virus relative tidak berbelit-belit dan langsung ke tindakan-tindakan yang dapat mensupport hidup anjing yang terserang parvo virus. Penggantian cairan tubuh yang hilang akibat dari muntah dan diare adalah kemungkinan langkah yang paling penting dan yang paling pertama harus dilakukan. Dalam kasus muntah-muntah yang parah, pemberian obat anti muntah untuk memperlambat/menghentikan perlu diberikan. Therapy antibiotic juga biasanya diberikan untuk mengontrol serangan infeksi yang mungkin timbul dari secondary bakteri. Setelah gejala-gejala (intestinal symptoms) telah berkurang, penggunaan obat cacing biasanya dilakukan. Mengatur jumlah makanan selama anjing kita masih terus muntah juga harus dilakukan. Apabila pengobatan ini tidak dilakukan dengan baik dan serius apalagi tanpa pengawasan dari dokter hewan maupun professional, kesembuhan anjing yang terkena serangan parvo virus sangat sulit. Bahkan dengan pengawasan yang terbaikpun, tingkat kematian yang terjadi masih tetap tinggi. Tanda Pemberian cairan dalam jumlah yang tepat kedalam tubuh anjing yang sudah diserang oleh parvo virus, kemungkin recoverynya sangatlah kecil.

Daya Tahan Tubuh (Antibodi) & Vaksinasi
Apabila seekor anak anjing berhasil lolos dari serangan infeksi CPV-2, maka anak anjing tersebut akan daya tahan tubuh yang kebal terhadap serangan virus yang sama paling tidak selama 20 bulan, bahkan mungkin seumur hidupnya. Setelah recovery, virus tidak akan disebarkan lagi melalui kotorannya.
Untuk vaksin, banyak  vaksin yang tersedia secara komersil. Meskipun banyak pemilik anjing yang khawatir bahwa pemberian vaksin parvo yang menggunakan virus hidup yang telah dimodifikasi akan justru menularkan parvo virus kepada anjingnya, namun hasil penelitian telah berulang kali menunjukan bahwa vaksin yang disiapkan secara komersial adalah aman dan tidak menyebakan penyakit.

Penyebab utama kegagalan pada saat pemberian vaksin parvo virus adalah tingkat daya tahan tubuh anjing kita yang diperoleh pada saat lahir dari induknya (Maternal antibody level). Maternal antibodi adalah antibodi yang didapat dari air susu induknya yang harus diberikan kepada anak anjing  langsung dalam waktu 24 jam setelah anak anjingnya lahir. Maternal antibodi yang tinggi pada darah anak anjing akan menghalangi ke-efektifan dari pada vaksinasi. Maternal antibody harus turun pada level yang cukup rendah agar imunisasi dengan menggunakan vaksin komersil dapat bekerja.
Yang menjadi permasalahan adalah, ada waktu antara beberapa hari sampai sekitar 2 minggu, dimana Maternal antibodi sudah turun terlalu rendah untuk menjaga kekebalan tubuh anjing terhadap CPV-2, namun masih terlalu tinggi untuk membiarkan vaksin bekerja. Waktu ini dinamakan “Window of susceptibility”. Lamanya dan waktu dari Window of Susceptibility ini berbeda antara tiap kelahiran.

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, parvo virus adalah penyakit yang umum kita dengar dan juga sebagai penyebab kematian terutama pada anak anjing. Dengan kemampuan virus ini untuk menular melalui tangan, pakaian, dan yang pasti adalah kecoak dan serangga, secara virtual akan tidak mungkin sebuah kennel tidak terkena serangan virus ini. Vaksin dengan menggunakan virus hidup yang sudah dimodifikasi adalah aman dan efektif, namun perlu diingat bahwa ada “window of Susceptibility” yang terjadi kira-kira beberapa hari sehingga pada hari-hari itu, anak-anak anjing tetap beresiko tinggi untuk tertular parvo virus. Yang harus kita jaga adalah kebersihan lingkungan, vaksinasi tepat waktu di dokter hewan. Apabila sudah terserang parvo virus, harus segera dibawa ke dokter hewan kita untuk menerima pengobatan/perawatan, ketepatan dan kecepatan pengobatan akan mempengaruhi tingkat hidup anjing yang sudah terkena CPV-2.

Senin, 13 Desember 2010

RADANG LIMPA (ANTHRAX)

RADANG LIMPA
Sinonim: Antrak, Anthrax

    Radang limpa merupakan penyakit akut disertai demam yang ditandai dengan bakterimia yang bersifat terminal pada kebanyakan spesies hewan. Meskipun radang limpa merupakan penyakit ruminansia dan kuda namun hewan tersebut dapat juga menyerang hewan-hewan menyusui lainnya secara luas.
Etiologi
    Radang limpa disebabkan oleh Bacillus anthracis, yang hanya merupakan penyakit hewan menyusui. Kuman tersebut bersifat Gram positif, berukuran besar dan tidak dapat bergerak. Kuman yang sedang menghasilkan spora memiliki garis tengah 1 mikron atau lebih dan panjangnya 3 mikron atau lebih.
Epidemiologi
    Meskipun antrak terdapat diseluruh dunia namun pada umumnya terbatas pada beberapa wilayah saja. Dibandingkan dengan wilayah yang biasa terserang oleh penyakit radang paha (Black leg), wilayah yang terserang radang limpa biasanya lebih bersifat terbatas. Daerah-daerah yang terserang radang limfa biasanya memiliki tanah yang bersifat alkalis dan kaya bahan-bahan organik.
    Banyak daerah peternakan yang diketahui merupakan daerah penyakit radang limpa tidak mengalami wabah dalam jangka waktu yang panjang, meskipun tidak dilakukan vaksinasi. Apabila terjadi perubahan ekologik, misalnya karena datangnya musim hujan, spora basil yang semula bersifat laten akan berkembang hingga terjadi penigkatan populasi kuman dan selanjutnya kuman-kuman dapat menyerang ternak di tempat tersebut. (Van Ness,1961).
    Sumber utama infeksi kuman adalah tanah dan air. Dalam beberapa kejadian penyakit terbukti bahwa pakan yang tercemar oleh spora dari kuman, terutama tepung yang ditambahkan ke dalam ransum, menyebabkan terjadinya wabah antrak.  Kebanyakan kasus antrak terjadi pada waktu ternak digembalakan di padang rumput. Padang rumput yang baru saja menerima air berlebihan dari daerah lain merupakan padang penggembalaan yang berbahaya. Pada umumnya kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan makanan. Selain itu kuman dapat memasuki tubuh melalui saluran pernafasan dan penetrasi kulit penderita.
    Spesies sapi, domba, dan kuda biasanya yang paling banyak menderita. Babi memiliki ketahan yang lebih dan bila terinfeksi hanya berbentuk sebagai radang tekak (faringeitis) yang tidak fatal. Hewan pemakan daging dapat menderita radang limpa. Hewan-hewan terakhir tersebut mungkin mendapatkan daging dari bangkai, atau diberi makan dikebun binatang dengan daging-daging yang tidak diketahui berasal dari penderita radang limpa.
    Hewan yang mati karena antrak biasanya menunjukkan bakterimia yang hebat. Pada saat kematian populasi kuman tersebut terdiri kuman berbentuk batang yang bersifat vegetatif yang pada bangkai yang tidak dibuka akan mengalami autolisis. Oleh infasi kuman-kuman pembusuk (Cavader bacilis) kuman radang limpa tidak mampu bertahan dan akan mati. Pada waktu bangkai dibuka untuk pemeriksaan, oksigen yang ada di udara akan segera mengubah kuman-kuman labil tersebut menjadi spora yang memiliki ketahanan yang tinggi. Dengan pertimbangan tersebut pemeriksaan bedah bangkai penderita antrak tidak dibenarkan dan dilarang.
Patogenesis
    Kebanyakan infeksi terjadi melalui selaput lendir, selanjutnya kuman akan memasuki cairan limfe dan kemudian berakhir di dalam darah. Bakterimia yang terjadi berlangsung dengan hebatnya dan di dalam darah perifer dapat ditemukan kuman sebanyak lebih kurang 1 milyard sel kuman dalam tiap mililiter darah (Keppie, 1995). Dalam percobaan yang dilakukan pada hewan coba, hewan coba tersebut dapat dibebas-kumankan dengan penyuntikan streptomisin apabila tingkat bakterimianya masih 1:300 dari tingkat bakterimia yang ditemukan sebelum penderita mengalami kematian. Meskipun demikian, dalam beberapa hari hewan coba tersebut akan mengalami kematian akibat shock sekunder dan kegagal dari ginjal. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kematian hewan tidak disebabkan karena terjadinya penutupan kapiler oleh bentukan-bentukan gumpalan kuman dalam jumlah yang besar.
Gejala Klinis
    Pada penyakit yang berlangsung perakut, domba dan sapi banyak yang mengalami kematian dalam waktu singkat. Proses yang berlangsung perakut tersebut biasanya ditandai dengan kelemahan mendadak, demam, sesak nafas, kekejangan, dan keluarnya darah dari lubang-lubang tubuh. Kematian berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Beberapa penderita dapat mengalami keluron dan mungkin akan mengalami pembengkakan oedematous yang lunak dan panas pada jaringan di bawah kulit, terutama pada bagian bawah perut dan pinggang. Lesi tersebut tidak mengalami suara krepitasi dalam palpasi, karena kuman bacillus antracis tidak membentuk gas. Kadang-kadang juga deitemukan tinja yang berdarah.
Pemeriksaan patologi-anatomi
    Karkas hewan penderita radang limpa dengan cepat mengalami pembusukan tanpa terjadinya proses rigor mortis. Darah bersifat sianotik dan biasanya ditemukan pada lubang-lubang dari tubuh. Berbeda dengan kematian yang disebabkan oleh radanga paha, darah jantung tidak mengalami penggumpalan. Kebengkakan oedem serta perdarahan terdapat di dalam jaringan di bawah kulit, serosa dan selaput lendir. Hati, limpa dan kelenjar-kelenjar limfe membengkak secara menyolok. Limpa sapi mengalami kongesti secara akut dan berisi darah yang sianotik dan mengandung kuman dalam jumlah besar. Pada hati dan limpa mungkin ditemukan banyak noda nekrosis yang bersifat akut dan berukuran kecil.

Diagnosis
    Penentuan diagnosis didasarkan pada adanya riwayat penyakit radang limpa di suatu kandang peternakan. Kebanyakan kejadian terdapat di dalam suatu kandang yang telah diketahui sering mengalami wabah penyakit. Mungkin saja kejadian yang terakhir telah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu dan tidak diketahui oleh pemilik peternakan yang sapinya sedang mengalami penyakit. Karena bedah bangkai pada penderita tidak dibenarkan, kadang-kadang satu daun telinga dipotong dan dikirim kelaboratotium untuk pemeriksaan, atau mungkin dengan pengambilan darah dari vena jugularis dan kemudian dibuat dua buah preparat apus tanpa fiksasi. Dua preparat tersebut dikirimkan dengan dibatasi lidi atau batang korek api yang diletakkan berhadap-hadapan. Sisa darah yang ada dalam tabung injeksi dapat pula dikirimkan ke laboratorium. Bahan pemerikasaan yang dikeringkan lebih disukai, karena apabila pengiriman bahan tersebut terlambat kuman-kuman antrak akan bersaing dengan kuman-kuman pembusuk yang berkembang biak setelah kematian penderita. Apabila dipandang perlu pengiriman sampel darah, dapat dilakukan dengan jalan menempelkan darah pada 1 atau 2 batnag kapur tulis. Dalam beberapa keadaan bangkai hewan-hewan pemamah biak terpaksa dibuka dengan cara bangkai diletakkan pada bagian sebelah kanannya, hingga limpa dapat segera diketahui pada irisan yang pertama pada dinding perut. Sepotong limpa yang disimpan di almari es merupakan bahan pemeriksaan yang bagus, terutama apabila potongan limpa juga disertai dengan preparat apus darah. Setelah sampai di laboratorium  preparat darah apus segera diperiksa. Kuman yang bersifat Gram-positif berbentuk batang berukuran besar dan jumlah yang banyak akan segera terlihat. Berbeda dengan clostridia yang berkembang menjadi spora pada hewan-hewan yang hidup, preparat apus yang segar yang berasal dari penderita antrak tidak mempunyai spora. Pada preparat darah apus tersebut biasanya juga banyak terdapat kuman lain seperti clostridia dan kuman-kuman pembusuk lainnya.
    Kuman antrak biasanya berbentuk batnag yang terpisah satu dengan yang lain, berukuran besar dan tercampur dengan kuman-kuman yang berbentuk rantai yang terdiri dari 2, 3 atau 4 kuman. Kuman kadang-kadang mempunyai ujung yang memendek dan seluruh rantai dibungkus oleh selubung (kapsul) tunggal. Berbeda dengan pada pengecatan Gram, pada pengecetan Giemsa dan Wright selubung nampak pucat. Kebanyakan kuman Gram positif besar yang terdapat dalam preparat apus adalah kuman klostridia, yang dalam pembiakan rutin tidak akan tumbuh karena tidak adanya suasana aneorob. Pada pembiakan kuman antrak biasanya ditemukan yang cepat tumbuh, dan tidak sangat tergantung pada suasana anaerob. Biakan kuman yang berumur lebih kurang 24 jam dapat digunakan untuk memastikan penyakit. Dalam biakan tersebut koloni antrak bersifat non hemolitik, atau bersifat hemolitik ringan saja, sedangkan kebanyakan kuman yang tergolong dalam genus Bacillus memiliki sifat hemolitik yang kuat. Di bawah sinar lampu, efek “ground glass” dari koloni kuman dan antrak dapat segera dikenali, sedangkan gambaran kepala dilihat dengan bantuan sebuah kaca pembesar . di laboratorium hewan percobaan mencit dan marmot lebih banyak digunakan. Setelah inokulasi hewan-hewan tersebut akan mati dalam waktu sehari atau lebih. Kaena kuman pencemar, misalnya Cl. Septicum, dapat membunuh hewan percobaan kurang dari 24 jam, untuk meyakinkan adanya kuman antrak diperlukan adanya pembiakan kuman yang berasal dari limpa hewan percobaan terserbut. Cara diagnosis penyakit yang mutakhir meliputi “phage testing”. Uji presipitin Ascoli yang banyak digunakan beberapa tahun yang lalu, pada waktu ini sudah jarang dilakukan.
Terapi
    Banyak penderita antrak dilapangan ditemukan mati atau dalam keadaan sekarat. Apabila seekor hewan penderita diketahui sakit mungkin pengobatan dengan antibiotik akan membuahkan hasil. Dibanding dengan penderita radang paha, prognosis antrak pada penderita yang non terminal lebih baik. Pengobatan dengan penisilin dan streptomisin, dalam dosis tinggi yang diberikan 2 kali sehari selam beberapa hari, biasanya membuahkan hasil yang bak. Demikian pula obat tetrasiklin telah terbukti efektif untuk mengobati penyakit antrak. Antiserum antrak yang populer pada masa yang lalu, meskipun waktu ini masih dibuat namun harganya mahal; penggunaan antiserum tersebut pada saat ini sudah sangat terbatas.
Pengendalian
    Dalam suatu wabah antrak mungkin dibenarkan untuk memindahkan hewan-hewan dari padang penggembalaan ke kandang-kandang yagn terpisah untuk pemeriksaan secara teliti sehari-hari. Riwayat tentang vaksin antrak merupakan riwayat yang panjang, dan meliputi bakteri yang aman, namun kurang memberikan perlindungan, sampai vaksin-vaksin yang efektif namun berbahaya. Vaksin yang sekarang banyak digunakan adalah vaksin spora avirulen dari stern yang memiliki keamanan dan efektivitas tinggi. Vaksin tersebut dipersiapkan dari kuman-kuman antrak yang tidak memiliki selubung. Vaksin tersebut merupakan vaksin hidup, sehingga dengan demikian wabah penyakit tidak boleh diatasi dengan kombinasi antara vaksinasi dengan penggunaan antibiotik seperti yang sering dilakukan terhadap wabah radang paha. Di daerah yang biasa terdapat penyakit radang limpa vaksinasi tahunan perlu dilakukan. Dengan adanya wabah antrak ancaman terhadap manusia juga mengkhawatirkan, sehingga hal ini akan menentukan pola penendalian penyakit tersebut. Berbagai negara mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perdagangan air susu, telur dan hasil-hasil ternak lainnya yang berasal dari wilayah yang belum lama menderita penyakit radang limpa.
    Dalam pemberantasan penyakit yang sebab kematian hewan belum diketahui dengan segera, telah berlangsung perdagangan kulit yang berasal dari hewan yang mati. Dalam hal demikian penyidikan yang intensif dilakukan dan apabila perlu dilanjutkan dengan penghancuran tempat penyimpanan kulit-kulit tersebut dengan isinya. Bangkai hewan yang menderita antrak kadang-kadang dibakar, atau di tanam dengan gamping. Peraturan-peraturan tentang pengendalian penyakit radang limpa biasa diberikan dlam bentuk peraturan yang mungkin berbeda-beda di antara negara yang bertetangga.                   

Selasa, 07 Desember 2010

GANGGUAN REPRODUKSI PADA TERNAK

GANGGUAN REPRODUKSI PADA TERNAK

Faktor Penyebab Gangguan Reproduksi
Ada beberapa faktor penyebab gannguan reproduksi, yaitu faktor maternal, faktor fetal, faktor hormonal, dan faktor nutrisi.
Aspek induk yang dapat mengakibatkan gangguan reproduksi diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat gangguan pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen (rongga perut) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan kelahiran, dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetus yang dapat mengakibatkan gangguan diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran fetus yang terlalu besar, kelainan posisi fetus dalam rahim serta kematian fetus dalam rahim. Ukuran fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang yaitu keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar. Faktor nutrisi induk juga berperan, yakni pemberian pakan terlalu banyak dapat meningkatkan berat badan fetus dan timbunan lemak dalam rongga panggul yang dapat menurunkan efektifitas perejanan.
2.2 Gangguan Kelahiran
Ada banyak gangguan dan penyakit yang dapat menjangkiti induk sapi pada akhir masa kebuntingan hingga proses melahirkan. Banyak kasus yang terjadi saat melahirkan (parturisi) bersifat mendadak dan membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat pula, sehingga tidak menimbulkan efek yang permanen yang akan mempengaruhi status reproduksi dan fertilitas pada periode berikutnya.
2.2.1 Gangguan Menjelang Kelahiran
1.Prolaps Vagina/Rektal
Prolapsus dapat didefinisikan sebagai reposisi abnormal dari sebagian/seluruh organ tubuh dari struktur anatominya (Powell, 2008), di mana organ tersebut normalnya secara anatomis berada di dalam rongga tubuh kemudian keluar, menonjol/menggantung. Pada induk sapi yang sedang bunting tua, umum ditemukan kasus prolaps vagina (Gambar 1) dan prolaps rectal.
Penyebab kasus ini dikarenakan adanya perubahan pada jaringan otot di sekitar saluran peranakan bagian luar yang mengalami relaksasi pada saat induk sapi memasuki kebuntingan trisemester ketiga (Cuneo, 2009). Selain itu, meningkatnya tekanan di dalam rongga perut seiring perkembangan foetus (janin sapi) dapat mendorong bagian dalam vagina/rectum keluar rongga tubuh. Pada banyak kasus, saluran kantung kemih tertutup oleh bagian vagina yang mengalami prolaps sehingga sapi tidak dapat kencing. Kasus ini lebih banyak dijumpai pada induk sapi yang berumur tua dan induk sapi yang baru pertama kali bunting (Bicknell, 2009). Sapi - sapi yang digembalakan pada area yang banyak tanaman legume (kacang-kacangan) dan sapi yang mengalami kegemukan, sapi bunting yang dipelihara dengan kontruksi lantai yang terlalu miring memiliki resiko yang tinggi terhadap kasus prolaps.
Prinsip dasar penanganan kasus ini adalah mengembalikan organ yang mengalami prolaps ke posisi normalnya. Tindakan penjahitan kadang dibutuhkan namun saat parturisi jahitan tersebut harus dilepas. Untuk tindakan tersebut dapat menghubungi dokter hewan terdekat.
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat desain lantai kandang yang tepat/tidak terlalu miring. Kontrol manajemen pakan sehingga sapi-sapi yang bunting terutama pada trisemester ke tiga tidak mengalami kegemukan. Dan yang penting adalah jangan memelihara sapi yang pernah mengalami kejadian prolaps vagina/rektal pada saat bunting karena ada kecenderungan genetis berperan dalam kejadian kasus prolaps (Card, 2009).
2.Ketosis/Pregnancy Toxemia
Penyebab kasus ini biasanya karena sapi-sapi bunting tua (umur kebuntingan 2 bulan terakhir) mengalami kekurangan pakan baik dalam kualitas maupun kuantitas. Sapi bunting tua yang terlalu gemuk atau bunting kembar akan memiliki resiko yang lebih tinggi terkena ketosis.

3. Milk fever
Milk fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang menimpa sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau sesudah melahirkan (72 jam setelah beranak). Penyakit ini paling banyak menyerang sapi perah saat 72 jam setelah melahirkan. Penyebab penyakit adalah karena kekurangan Ca (calsium) di dalam darah yang akut. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme mineral, yang dapat berakibat kepada seluruh tubuh sapi. Atau menurut kamus milk fever adalah semacam demam pada sapi perah yang ditimbulkan oleh congesti air susu di dalam ambing, sehingga sekresinya tersendat.
2.2.2 Gangguan Saat Kelahiran
Distokia
Kasus distokia umumnya terjadi pada induk yang baru pertama kali beranak, induk yang masa kebuntingannya jauh melebihi waktu normal, induk yang terlalu cepat dikawinkan, hewan yang kurang bergerak, kelahiran kembar dan penyakit pada rahim. Distokia dapat disebabkan oleh faktor induk dan faktor anak (fetus) Aspek induk yang dapat mengakibatkan distokia diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat gangguan pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen (rongga perut) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan kelahiran, dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetus yang dapat mengakibatkan distokia diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran fetus yang terlalu besar, kelainan posisi fetus dalam rahim serta kematian fetus dalam rahim. Ukuran fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang yaitu keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar. Faktor nutrisi induk juga berperan, yakni pemberian pakan terlalu banyak dapat meningkatkan berat badan fetus dan timbunan lemak dalam rongga panggul yang dapat menurunkan efektifitas perejanan.
Terdapat tiga tahapan melahirkan sesuai yaitu pelebaran serviks(leher rahim) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus 0.5-1 jam dan pengeluaran plasenta (selaput fetus) 4-5 jam. Apabila proses kelahiran melebihi waktu 8 jam dari saat pertama kali seekor induk merejan untuk melahirkan dapat dikatakan sapi mengalami distokia.
a.    Gejala Distokia
Dua gejala distokia adalah perpanjangan periode kelahiran (di atas 8 jam) dan fetus terbukti tidak berada pada orientasi yang tepat untuk kelahiran normal (3,5). Jika sapi tidak dilahirkan pada waktu yang spesifik atau fetus malpresentasi, bantuan dokter hewan sangat diperlukan. Malpresentasi diindikasikan oleh perpanjangan labor atau sapi tidak keluar dalam waktu yang telah dijelaskan di atas. Beberapa malpresentasi dapat diatasi sendiri dengan menolak sapi ke belakang dan dia akan berorientasi sendiri. Jika terdapat keraguan untuk memperbaiki malpresentasi, pemanggilan dokter hewan sangat diperlukan
b.    Pencegahan Distokia
Beberapa tindakan atau cara yang dapat dilakukan sebagai usaha pencegahan distokia yaitu berikan pakan yang cukup pada sapi dara yang akan melahirkan selama 24 bulan sehingga sapi-sapi berada dalam kondisi tubuh yang baik untuk melahirkan tetapi tidak overconditioned, area kelahiran harus bersih, kering dan mempunyai ventilasi baik, obsevasi kelahiran secara seksama, berikan waktu yang cukup pada sapi untuk menyiapkan kelahiran sendiri, lakukan prosedur sanitasi yang ketat ketika pemeriksaan dilakukan, mengetahui limit waktu untuk memanggil bantuan dokter hewan ketika kesulitan terjadi dan sebelum sapi menjadi lemah, berikan perawatan neo-natal yang baik, dan seleksi induk untuk sapi dara dengan kelahiran yang normal.
c.    Faktor Penyebab Distokia
Sekitar 80 % seluruh sapi yang melahirkan fetus mati mempunyai anatomi reproduksi yang normal. Kebanyakan dari sapi-sapi tersebut mati karena perlukaan yang dihasilkan dari kesulitan atau hambatan melahirkan. Factor-faktor yang berkontribusi terhadap problem ini digolongkan kedalam tiga kategori yaitu efek fetus, efek induk, dan posisi saat kelahiran.
d.    Diagnosa dan Rancangan Penanganan
Sebagai hasil dari pemeriksaan klinis umum, Pemeriksaan onstetrik yang rinci, dan beberapa informasi, dan beberapa informasi latar belakang yang berguna yang diberikan melalui riwayat pasien, dokter hewan secara normal akan dapat mencapai diagnosa penyebab distokia dan merumuskan rwncana untuk mengatasi kasus tersebut. Rencana seperti ini pada awalnya bersifat sementara karena, jika usaha pertama pada penanganan tidak berhasil, penanganan alternatif mungkin harus dilakukan dan harus selalu diingat.
Kesejahteraan pasien harus diutamakan sewaktu merencanakan dan melakukan penanganan. Harap pemilik – kadang-kadang diekspresikan dengan cukup kuat harus dipertimbngkan dengan hati-hati tetapi keputusan terakhir ada pada dokter hewan. Dalam praktek pertimbngan ekonomis harus diperhitungkan untuk memastikan bahwa biaya penanganan yang diajukan dapat dipenuhi dan realitis.
Penanganan yang mungkin adalah:
•    Penanganan konservatif:     Dalam dokter hewan dapat mempertimbangkan bshwa kasusnya belum memerlukan bantuan dan memutuskan untuk meberi pasien periode waktu tertentu sebelum melakukan tindakan lebih laanjut.
•    Penanganan manipulatif:     Kelahiran vagina dengan bantuan setelah perbaikan sebagai maldisposis fetus.
•    Terapi obat untuk meningkatkan aktivitas miometrial:    penggunaan obat ekbolik ksusus oksitosin. Terapi kalsium atau glikosa dapat dperlukan dalam kasus yang didugaterjadi difisiensi.;
•    Penanganan bedah: pada operasi sesar uterus dibuka dengan pembedahan untuk memungkinkan pengambilan anak melalui laparotomi. Pada kejadian kerusakan uterus yang berat sewaktu pembedahan maka perlu dilakukan hisrektomi. Fetotomi (embriotomi) adalah pemotongan oleh dokter hewan yang bekerja lewat vagina dari fetus menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dengan mudah dikeluarkan melalui saluran peranakan.
Yang disayangkan, dan untungnya sangat jarang, sang induk keadaaannya snagt rendah untuk dberikan penanganan sehingga dperlikan euthanasia.
e.    Metode Khusus Untuk Mengurangi Kejadian Distokia dan cacat yang ditimbulkan
Ini termasuk:
-    Pengawasan rencana perkawinan
•    Menyeleksi ras dari spesies yang akan dikawinkan yang mempunyai tingkat kejadian distokia yang rendah sambil memepertahankan standar ras yang baik.
•    Pastikan bahwa kesehatan induk baik dan secara fisik cukup besar dan kuat untuk dikawinkan. Pencapaian berat badan minimum sebelum perkawinan dapat membantu meyakinkan bahwa hewan juga telah mencapai ukuran tubuh yang cukup untuk melahirkan tanpa kesulitan. Pada sapi misalnya, sapi perah dara idealnya tidak dikawinkan sampai mencapai berat 400 kg. ukuran pelvis juga dapat diukur secara eksternal dan internal. Area pelvis pada sapi idealnya melebihi 200 cm2. Untuk mencapai ukuran pelvis ini, dianjurkan agar sapi dara baru boleh dikawinkan hanya jika jarak antara tuberositas coxae lebih besar dari 40 cm. pengukuran pelvis yang lebih rinci dapat digunakan untuk mengevaluasi diameter pelvis.
•    Hindari sejauh mungkin mengawinkan hewan dengan riwayat distokia. Lakukan perawatan khusus pada hewan tersebut apabila secra kebetulan ataupun dengan sengaja dikawinkan lagi.
-    Pengawasan Kebuntingan
•    Diagnosa kebuntingan secara akurat: agar tanggal kelahiran dapat diketahui. Variasi lama kebuntingan pada kuda menyebabkan kesulitan dalam mamprediksi tanggal kelahiran yang akurat.
•    Mendiagnosa jumlah anak: pada beberapa spesies seperti domba, mendiagnosa jumlah anak sangat membantu dalam mencegah toksemia kebuntingan, yang dapat menyebabkan kematian fetus dan distokia. Manajemen nutrisi yang baik pada hewan dengan jumlah fetus yang banyak tersebut akan membantu mengurangi resiko toksemia kebuntingan. Pengecekan kadar ß-hidroksibutirat dalam plasma secara rutin pada ruminansia dapat memberikan tanda peringatan awal terhadap terjadinya defisiesi energy selama kebuntingan. Pada kuda, diagnose awal kebuntingan kembar yang tidak diinginkan memungkinkan segera diambilnya tindakan untuk mengakhiri kebuntingan tersebut atau menghancurkan salah satu dari dua fetus tersebut.
•    Pemeriksaan dan penanganan yang teliti dari adanya penyakit induk atau tanda-tanda abnormal selama kebuntingan: kadang-kadang ditemukan adanya sedikit abnormalitas pada foetus atau uterus selama pemeriksaan rutin diagnosa kebuntingan. Penemuan-penemuan ini harus ditindak lanjuti dan pasien harus diperiksa ulang pada tahap selanjutnya. Penggunaan Ultrasonografy sangat berguna pada kasus tersebut.
•    Supervisi kebuntingan: untuk memastikan induk sebebas mungkin dari stress. Peringatan awal dari masalah yang mungkin terjadi harus diperhatikan jika individu ataupun kelompok dari hewan bunting dipercaya beresiko terhadap penyakit nutrisi atau stress lingkungan.
•    Pengawasan fetus selama kebuntingan: pada kebidanan manusia hal ini dilakukan secara rutin pada interval yang teratur selama kehamilan. Perhatian khusus diberikan pada fetus yang berisiko. Hal ini sudah memungkinkan pada hewan dengan riwayat kematian fetus atau sewaktu induk sakit yang dapat berpengaruh pada kesehatan fetus. Pemeriksaan fetus secara rutin saat ini tidak dipraktekkan tanda-tanda luar dari kesehatan fetus – perbesaran abdominal yang normal, gerakan fetus, dan tidak adanya tanda-tanda kelainan seperti kelainan leleran vagina. – dapat dievaluasi tanpa memerlukan peralatan khusus. Pemeriksaan kesehatan fetus yang lebih mendetail dimungkinkan. Khususnya dengan bantuan ultrasonografi. Dengan menggunakan probe ultrasonografi (bisa secara eksternal atau rectal tergantung pada spesies) fetus dan cairan yang mengelilinginya dapat dinilai secara detail.
•    Pengawasan hormon pendukung kebuntingan: pengukuran secara teratur hormon progesteron dalam plasma pada hewan dengan riwayat kebiasaan (habitual) abortus memberikan informasi yang berguna berkenaan dengan keamanan kebuntingan mereka saat ini. Hal tersebut dapat digunakan pada kuda dan anjing dengan riwayat abortus berulang yang bukan disebabkan oleh infeksi. Hewan yang progesteron plasmanya jatuh dibawah kadar normal telah diberikan suplementasi progesteron atau progestagen. Saat ini tidak ada bukti ilmiah bahwa suplementasi tersebut efektif.
•    Pemeriksaan rektal pada sapi: pemeriksaan yang penting dan sederhana pada sapi adalah pemeriksaan rektal pada 10-14 hari sebelum kelahiran. Hal ini mungkin – meskipun kadang-kadang sulit untuk memperkirakan ukuran anak dan presentasinya. Jika anak sapi diperkirakan besar, induksi kelahiran dapat dipertimbangkan. Jika anak sapi pada presentasi posterior, penanganan khusus perlu dilakukan saat kelahiran untuk memastikan kelahiran tidak berkepanjangan.
•    Menggunakan teknologi: kehidupan fetus kuda telah dipelajari secara mendetail melalui penelitian dan beberapa teknik, termasuk evaluasi ultrasonografi dan memonitor elektrokardiograf fetus telah terbukti sangat bermanfaat. Beberapa teknik dapat digunakan secara rutin dalam praktek tetapi yang lain seperti amniosenteris, memerlukan fasilitas rumah sakit.
-    Pengawasan proses kelahiran
•    Pastikan bahwa failitas yang memadai tersedia untuk hewan yang akan melahirkan : fasilitasnya hasur dapat memberikan ruang, perlndungan dan kenyamanan yang memadai untuk pasien. Pasilitas sebaiknya juga memugkinkan observasi pasien oleh penjaganya, yang harus mampu dapat memonito kemajuan tanpa menggangunya. Harus tersedia pasilitas yang dapat denga mudh menangkap dan mengekang pasien untuk pemeriksaan obstetric lebih detail yang hars dilakukan dengan ganggun seminimal mungkin terhadap pasien.
•    Supervisi : tingkat supervisi ditingkatkan sewaktu mendekati waktu kelahiran. Pada semuaspsies tanda-tanda eksternal mendekati kelahiran. Meskipun sudah didokmentasi dengan baik, bervariari berdasarkan lamanya tahapan-tahapan kelahiran normal. Pada kuda, evaluasi setiap hari terhadap berbagai kation dalam air susu(jika ada ada pada ambing) dapat digunakan untuk dinilai kedewasan poetus dan prkiraan kelahiran
•    Observasi proses kelahiran : sewaktu kelahiran berlangsung keajuannya harus dimonitoring tanpa menanggung untuk meyakinkan bahwa keajuan yang baik sedang terjadi. Pemilik yang belum berpengalman harus diberi pengertian tentang perembangan kelahiran normal  dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
•    Pemerikaan Abnormalitas : adanya abnormalitas harus diperiksa dan bantuan pofesional harus dicari tanpa ditunda. Campur  tangan  yang berebihan  harus dihindari  tetapi secara mum lebih baik untuk memeriksa kasus lebih awal dari pada sewaktu sangat terlambat.
•    Kelahiran perstama yang sedang berlangsung harus secara rutin dimonitoring untuk memastikan semua proses berlangsung dengan baik pemilik yang kurang berpengalaman harus diberi masukan mengenai proses normal dari kelahiran dan pariasi yang dapat terjadi.
•    Manajemen kebuntingan yang diperpanjang : manajemen yang dperpanjang yan didiskusikan secara detail pada bab ditokia pada berbagai spesies domestic. dalam beberapa keadaan mungkin diperlukan menginduksi kelahiran untuk mencapai  pada setiap spesies.
2.2.3 Gangguan Pasca Melahirkan
1. Retensio Secundinarum
 Retensio secundinarum adalah plasenta yang tertahan dalam posisi semula, bila pemisahan lapisan pemindahan ke lokasi lain lebih tepat. Atau tertahannya plasenta dalam rahim. Infeksi uterus selama kebuntingan dapat menyebabkan retensio secundinae/retnsi plasenta. Jasad-jasad renik seperti Brucella abortus. Tuberculosis, Campylobacter foetus dan berbagai jamur menyebabkan placentitis dan kotiledonitis yang mengakibatkan abortus atau kelahiran patologik dengan retansi plasenta. Dengan kata lain retansi plasenta adalah kegagalan pelepasan villi kotiledon foetal dari kripta karunkula maternal. Sesudah foetus ke luar dan chorda umbilicalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke villi foetal dan villi tersebut berkerut dan mengendur. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkulae maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta pada karunkulae berdilatasi.
Pada retensio secundinarum pemisahan dan villi foetalis dari kripta maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang mudah dilepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa villi chorionik. Sesudah beberapa hari terdapat leukosit dan bakteria di dalam placentoma. Oleh karena itu placentitis mudah terjadi. Retensio secundinae sebenarnya adalah suatu proses kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh penciutan struktur-struktur placenta maternal dan foetal, perubahan-perubahan degeneratif, dan kontraksi uterus yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Hardjopranto S. 1995. ILMU KEMAJIRAN PADA TERNAK. Airlangga University Press.  
          Surabaya.
Jackson Peter GG. 2007. OBSTETRI VETERINER.     Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sayuti Arman. 2008. Gangguan Reproduksi Pada Ternak. Syiah Kuala University Press.
          Banda Aceh.
http://id.wikipedia.org/wiki/Distokia_pada_sapi
http://www.sinartani.com/ternak/gangguan-dan-penyakit-terkait-proses-kelahiran-pada-sapi-potong-1267425870.htm

Rabu, 01 Desember 2010

Kini Korban Tewas Akibat Rabies Telah Mencapai 160 Orang

Upaya maksimal Pemerintah Provinsi Bali untuk memberantas rabies ternyata belum mampu menghentikan jatuhnya korban akibat virus anjing gila tersebut.

Sabtu (27/11/2010) pagi tadi, Gusti Rai Puspa Jaya, warga Banjar Gede Abianbase, Mengwi, Badung, Bali menjadi korban rabies ke-106 sejak virus mematikan ini muncul di Bali akhir tahun 2008 lalu.
Pasien suspect rabies yang hampir seminggu dirawat di sel isolasi nusa indah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar ini digigit anjing liar di bagian paha kanan sekitar empat bulan lalu.

Sebelumnya tidak ada tanda-tanda Puspa mengidap rabies seperti phobia cahaya dan air. Namun sejak Jum’at (26/11/2010). kondisi Puspa terus memburuk dan mengalami kejang-kejang.

Setelah dilakukan perawatan secara intensif oleh tim dokter RSUP Sanglah, nyawa Puspa tak tertolong lagi dan meninggal pukul 09.30 WITA pagi tadi. Untuk lebih memastikan penyebab pasti kematian Puspa, dokter mengambil sampel cairan otaknya.

Saat ini, RSUP Sanglah juga masih merawat satu pasien suspect rabies lainnya, yakni Ni Luh Sutri, 55 tahun. Warga Banjar Datah, Karangasem ini dilarikan ke RSUP Sanglah, Jum’at (26/11/2010) malam setelah kondisinya terus memburuk.

“Sudah mulai menunjukkan gejala klinis phobia. Korban sudah sulit menelan air minum dan mulai menunjukkan phobia terhadap cahaya,” ujar sekretaris tim penanggulangan rabies RSUP Sanglah Dr Ken Wirasandhi siang tadi. Dari catatan medis RSUP Sanglah, pasien digigit anjing milik salah satu keluarganya di bagian kaki kanan sekitar satu bulan lalu.

Dan yang mengkhawatirkan, anjing yang menggigit Ni Luh Sutri tewas dua minggu kemudian. “Bisa saja anjing yang menggigit korban itu positif rabies,” jelas Ken Wirasandhi. Setelah digigit pasien sempat membersihkan lukanya dengan air hangat namun belum sempat disuntik vaksin anti rabies (VAR).

Sumber: Kompas.com

Taman Nasional


Disini, di negara kita masih banyak orang yang tidak mengetahui tentang apa itu Taman Nasional. Hal ini dikarenakan minimnya informasi yang sampai ke masyarakat luas, bahkan masyarakat yang berbatasan dengan Taman Nasional itu sendiri pun masih banyak yang tidak mengerti arti Taman Nasional, fungsi dan juga manfaatnya. Artikel berikut ini mungkin dapat memberikan pengetahuan dan pemaman kita tentang Taman Nasional.
Pengertian Taman Nasional
Secara gamblang Taman Nasional dapat diartikan sebagai ”daerah/kawasan/areal atau tanah yang dilindungi oleh negara”. Taman Nasional sendiri dapat diartikan sebagai tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman Nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II.
Namun menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Sejarah Taman Nasional
Gagasan kata Taman Nasional pertama kali diperkenalkan pertama kali sekitar abad ke-19 tepatnya pada tahun 1810 seorang berkebangsaan inggris yang juga seorang puitris yang bernama William Wordsworth yang menggambarkan Danau District sebagai “sebuah bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang memiliki hak bagi yang memiliki mata untuk menerima dan sebuah hati untuk menikmati”. Inilah awal perjalanan sejarah Taman Nasional.
Disisi lain seorang pelukis bernama George Catlin merasa kekhawatir akan masa depan penduduk asli Amerika dengan segala keajaiban alamnya yang dia temui dalam perjalananannya menuju Amerika barat 1932, beliu menulis bahwa apa yang dia lihat itu dapat dilindungi agar tetap ada dan lestari. Dia menuliskan “Oleh kebijakan pemerintah untuk melindungi… dalam sebuah taman yang luar biasa… Sebuah Taman Nasional, berisikan manusia dan hewan, di keliaran dan kesegaran dari keindahan alami mereka!”Mungkin hal ini dia sampaikan kepada pemerintah amerika pada masa itu. Untuk melindungi keindahan alami yang dia lihat selama dalam perjalanannya.
Singkat cerita mimpi George Catlin untuk melindungi apa yang pernah dia lihat tersebut baru dapat terealisasi pada masa pemerintahan presiden Amerika Abraham Lincoln, dimana presiden Amerika tersebut menandatangani “Act of Congress” pada 30 Juni 1864. Saat itu presiden Amerika tersebut menetapkan Lembah Yosemite dan Mariposa Grove di Giant Sequoia (Negara bagian California) Menjadi Taman Nasional Yosemite. Inilah kali pertama usaha pemerintahan Amerika Melindungi dan menetapkan sebuah kawasan menjadi kawasan yang dilindungi. Namun visi Taman Nasional di Yosemite belum begitu jelas dan belum lengkap dan pengelolaannya masih dipegang oleh kepala negara bagian. Yosemite sendiri tidak menjadi Taman Nasional secara legal hingga 1 Oktober 1890.
Pada tahun 1872, kawasan daerah Yellowstone diresmikan sebagai Taman Nasional. Inilah Taman Nasional pertama di dunia dalam sejarah dunia. Namur tidak seperti Yosemite dimana pemerintah negara bagian menjadi penanggung jawab kawasan tersebut, di Taman Nasional Yellowstone tidak ada pemerintah negara bagian yang melindunginya, sehingga Pemerintah Federal mengambil alih tanggung jawab kawasan tersebut secara langsung.
Mengikuti jejak diresmikannya Yellowstone sebagai Taman Nasional, negara-negara lainpun ikut meresmikan kawasan-kawasan yang mereka pandang pantas menjadi Taman Nasional. Di Australia, kawasan yang bernama Royal di sebelah selatan Sydney diresmikan sebagai Taman Nasional Royal pada tahun 1879. Berikutnya tahun 1887 di Negara Kanada, daerah Gunung Rocky juga diresmikan menjadi Taman Nasional dengan nama Banff National Park, inilah Taman Nasional pertama di Kanada. Selanjutnya Selandia Baru memiliki Taman Nasional pertamanya pada 1887. Di Eropa Taman Nasional pertama diresmikan pada 1910 di Swedia. Setelah PD II banyak Taman Nasional diresmikan di seluruh dunia. Taman Nasional terbesar yang pernah di tetapkan sepanjang sejarah adalah Northeast Greenland National Park, yang didirikan sejak tahun 1974.
Taman Nasional Di Indonesia
Di indonesia sendiri hingga tahun 2006, telah ditetapkan 50 kawasan yang telah ditetapkan menjadi Taman Nasional yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Untuk pulau bali dan Nusa Tenggara trdapat enam (6) Taman Nasional, di pulau Jawa ada dua belas (12) Taman Nasional, di pulau kalimantann ada delapan (8) Taman Nasional, di pulau maluku dan irian jaya ada lima (5) Taman Nasional, di pulau sulawesi ada (8) Taman Nasional ,dan di pulau sumatera ada sebelas (11) Taman Nasional, enam (6) diantaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (World Heritage Sites).
Pembagian Taman Nasional di indonesia dibagi dalam dua kategori yaitu :Taman Nasional darat dan tanam nasional laut. Total jumlah luasan Taman Nasional yang ada di indonesia hingga tahun 2004 tercatat telah mencapai 16.380.491.64 Ha dengan perincian untuk darat 12.336.950.34 Ha sedangkan laut 4.043.541.30 Ha
Kriteria Taman Nasional.
Untuk menetapkan sebuah kawasan menjadi sebuah Taman Nasional, ada beberap kriteria yang harus dimiliki oleh sebuah kawasan atau daerah yang akan di rekomendasikan menjadi Taman Nasional, diantaranya adalah;
1. Kawasan tersebut memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami.
2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa tumbuhan ataupun satwa danekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh/alami.
3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami yang dapat dikembangkan sebagai pariwisata alam.
5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam beberapa zona, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona yang lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan masyarakat sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
Salah satu Taman Nasional yang ada di Indonesia dan berada di pulau sumatera adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Taman Nasional gunung leuser adalah salah satu Taman Nasional yang memiliki hutan asli yang merupakan rumah bagi mamalia besar yang saat ini kondisinya sudah diambang kepunahan (Endegred spesies) diantaranya adalah; Gajah sumatera, Badak sumatera, Harimau Sumatera, dan Orangután sumatera. TNGL juga telah di tetapkan sebagai Cagar Biosfer (CB) bersama TN. Gunung Gede pangrango, TN. Tanjung Puting, TN.Lore Lindu, TN. Komodu, TN.Pulau Siberut oleh UNESCO. Pada tahun 1984 TNGL ditetapkan sebagai ASEAN Park Heritage, terakhir TNGL ditetapkan sebagai salah satu Tropical Rainforest of Sumatera Seja tahun 2004 oleh UNESCO dengan luasan 1.094.692 Ha bersama TN. Kerinci Seblat dan TN. Bukit Barisan Selatan.
First published by Ari Azhari (OIC Staff) in Rare Planet Blog
Untuk informasi lebih lengkap tentang Taman Nasional di Indonesia klik link2 berikut (dari website dephut.go.id)
Berikut ini daftar Taman Nasional yang ada di Indonesia:
Taman Nasional di Pulau Sumatera Taman Nasional di Pulau Jawa Taman Nasional di Bali dan Nusa Tenggara
1. Gunung Leuser *) **) 1. Ujung Kulon **) 1. Bali Barat
2. Siberut *) 2. Kepulauan Seribu 2. Gunung Rinjani
3. Kerinci Seblat **) 3. Gunung Halimun 3. Komodo *) **)
4. Bukit Tigapuluh 4. Gunung Gede Pangrango *) 4. Manupeu Tanah Daru
5. Bukit Duabelas 5. Karimunjawa 5. Laiwangi Wanggameti
6. Berbak ***) 6. Bromo Tengger Semeru 6. Kelimutu
7. Sembilang 7. Meru Betiri
8. Bukit Barisan Selatan **) 8. Baluran
9. Way Kambas 9. Alas Purwo
10. Batang Gadis 10. Gunung Merapi
11. Tesso Nilo 11. Gunung Merbabu

12. Gunung Ciremai
Taman Nasional di Pulau Kalimantan Taman Nasional di Pulau Sulawesi Taman Nasional di Maluku dan Papua
1. Gunung Palung 1. Bunaken 1. Manusela
2. Danau Sentarum ***) 2. Bogani Nani Wartabone 2. Aketajawe – Lolobata
3. Betung Kerihun 3. Lore Lindu *) 3. Teluk Cendrawasih
4. Bukit Baka-Bukit Raya 4. Taka Bonerate 4. Lorentz **)
5. Tanjung Puting *) 5. Rawa Aopa Watumohai 5. Wasur
6. Kutai 6. Wakatobi
7. Kayan Mentarang 7. Kepulauan Togean
8. Sebangau 8. Bantimurung – Bulusaraung

Selasa, 30 November 2010

Exercising Your German Shorthaired Pointer

Exercising Your German Shorthaired Pointer
by: Lea Mullins

German Shorthaired Pointers are a rather intelligent, happy and quite energetic. They aim to please their owner and enjoy the family environment. Due to their active nature exercise and training of this breed is extremely important in order to avoid unwanted behavior.

They need ample opportunities throughout the day to release their energy with interesting things to do. If they are not provided with enough mental stimulation or exercise they may become bored and rambunctious, which is generally displayed in their destructive behavior and continuous barking. They are well suited to large backyards to run around and vent off excess energy, and they are also great as working dogs on large properties or farms.

Owning a puppy is always exciting, but with it comes challenges and adjustments. Here are some suggested ways you can train and exercise your German Shorthaired Pointer. Train your puppy daily routines from where to get their water and food through to where their bed is located as well as where they can go to the toilet. This is generally taught at 8 – 12 weeks of age. With any training and exercise your pet should be taught some commands from no, stay, come etc…

Remember owning a German Shorthaired Pointer whether a puppy or adult, they are extremely energetic and excitable, and should not be taken too lightly. As apart of their daily routine, incorporate a few leash walks with some use of commands to get them used to walking with you without dragging you and some fun play time with them to zap up some of that extra energy. If you are away from them during the day make sure you have some interesting play things to do in that time or you’ll find they’ll get bored and destructive. This breed loves ball and chasing games. So be aware if you do have other pets like cats be sure to introduce them at a young age as they’ll enjoy chasing them. Once they have established the basic commands and respect within the family dynamics it will be a lot easier to take your pet out to the park for play time.

If you live on a large property be sure to include them with your daily duties. They make great working dog as they were previously known for their hunting abilities and since they are eager to please they will enjoy the time spent with their owner working.

German Shorthaired Pointers enjoy doing tasks with you, something that keeps them busy and will excel in exercise and activities such as tracking trials, hunting tests and other field trials and training.

Keeping your pet well exercised will keep them healthy as well as a great companion and family member for all. They are a loveable breed that responds well to training when kept in shape and will benefit their longevity and well being.

Senin, 29 November 2010

KESEHATAN TERNAK DAN HASIL PRODUKSINYA

KESEHATAN TERNAK DAN HASIL PRODUKSINYA

Kesehatan ternak dan hasil produksinya harus selalu mendapat perhatian khusus agar kualitasnya tidak berkurang atau menurun. Untuk itu sangat perlu disusun persyaratan-persyaratan yang membatasi ternak dan produk olahannya demi menjaga kualitas tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak.
Usaha sanitasi sangat penting dilakukan agar ternak dan produk olahannya terhindar dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitasnya seperti faktor fisik, kimia, dan biologi.
Semakin tingginya arus globalisasi dan era pasar bebas menyebabkan arus perdagangan ternak antar negara semakin meningkat, dan biasanya hal ini di ikuti pula oleh penyebaran penyakit menular. Oleh karena itu demi membentengi negara Indonesia ini dari masuknya ternak-ternak impor dan produk-produk olahannya yang mengandung penyakit atau memiliki kualitas rendah, maka perlu adanya suatu aturan yang membatasinya, misalnya manual persyaratan kesehatan ternak dan sanitasi produk ternak impor (berasal dari luar negeri). Adapun persyaratan ini berfungsi sebagai penyaring terhadap produk-produk ternak impor tersebut, sehingga terjadinya  penyebaran penyakit dari suatu negara masuk ke Indonesia dapat di cegah, dan negara ini akan terbebas dari penyakit menular yang penyebarannya melalui arus pasar global.


Persyaratan Kesehatan Untuk Sapi Bibit
Sapi bibit yang akan diimpor ke Indonesia harus memenuhi persyaratan:
1.    Sapi yang diimpor berasal dari peternakan / wilayah yang selama enam bulan terakhir tidak diketemukan adanya kasus penyakit hewan menular.
2.     Tidak menunjukkan gejala klinis Leptospirosis 90 hari sebelum pengapalan.
3.     Sapi impor tersebut harus bebas dari penyakit Brucellosis dan TBC yang dinyatakan dengan hasil negatif pemeriksaan laboratorium kesehatan hewan.
4.     Pada saat pemberangkatan tidak diketemukan adanya kejadian Ring Wom(Trichopythosis), Pink Eye, Actinomycosis dan Dermatophytosis.
5.     Vaksinasi Anaplasmosis dan Babesiosis dilaksanakan 7 sampai dengan 60 hari sebelum pengapalan.
6.     Pengobatan terhadap infeksi cacing dilaksanakan 15 hari sebelum pengapalan dengan preparat Ivermectin atau obat cacing lain yang sejenis.
7.     Semua kegiatan penanganan Kesehatan hewan tersbut di atas harus di bawah pengawasan Dokter Hewan berwenang di negara asal dan daerah tujuan.
8.     Memenuhi ketentuan tindak karantina, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Persyaratan Sanitasi Untuk Daging

Untuk mencegah masuknya penyakit infeksius terutama penyakit eksotik ke dalam negara Indonesia, mencegah agar konsumen tidak tertular penyakit zoonosis dan menjamin keamanan dari daging impor, maka daging yang dimasukkan ke Indonesia harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam SK Mentan No.745/Kpts/TN.240/12/1992:

a.    Semua pengiriman daging dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Negara atau daerah asal daging tersebut harus bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
2. Negara tersebut harus bebas dari Bovine Spongioform Encephalopathy.
3. Daging tersebut harus berasal dari hewan yang dilahirkan serta dibesarkan
atau hewan yang sudah berada di negara asal selama 4 bulan terakhir sebelum impor.
4. Hewan harus berasal dari Rumah Potong Hewan yang telah memiliki izin serta melalui pemeriksaan ante mortem dan post mortem, dan telah diproses sesuai persyaratan sanitasi dan higiene sehingga daging tersebut aman dan sesuai untuk konsumsi manusia.
5. Semua daging seperti pada poin tersebut di atas, harus memiliki stempel inspeksi pada permukaan daging tersebut, atau pada permukaan kemasan daging untuk daging yang berada dalam kemasan.
6. Daging tersebut tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan makanan, atau zat lain pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia, serta daging tersebut tidak boleh disimpan lebih dari tiga bulan terhitung mulai dari tanggal pemotongan sampai dengan tanggal pengiriman.
b.    Importasi daging dari luar negeri untuk konsumsi masyarakat dan/atau untuk diperdagangkan harus berasal dari rumah potong seperti pada poin keempat, serta harus dipotong sesuai dengan syariah Islam, memiliki Sertifikat Halal dan Nomer Kontrol Veteriner rumah potong hewan tersebut yaitu: EST.180, 555, 686, 505A,1058, 640, 486, 648, 297, 2773
c.    Daging impor tersebut harus dikirimkan secara langsung dari negara asal ke tempat-tempat pemasukan di Indonesia.
d.    Kemasan daging tersebut harus memiliki segel asli dengan label Nomer Kontrol Veteriner, tanggal pemotongan dan tipe daging serta
label tersebut harus dapat terbaca.,
e.    Kontainer untuk mengirimkan daging dari negara asal harus memiliki segel dari Dokter Hewan yang berwenang dan segel tersebut hanya dapat dilepas oleh Petugas Karantina Hewan yang berwenang di tempat-tempat pemasukan.
f.    Selama transportasi, suhu dalam kontainer harus tetap stabil (berkisar antara -18 C sampai dengan -22 C).
g.    Semua produk daging impor harus dilaporkan oleh importir ke petugas karantina hewan pada tempat-tempat pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku.
h.    Dalam kasus di mana pemeriksaan karantina dilakukan di luar tempat-tempat pemasukan, Badan Karantina Pertanian Nasional harus menentukan lokasi pemeriksaan tersebut.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Daging ke Dalam Negara Indonesia

Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi ketentuan jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen.
Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman batin konsumen. Persyaratan Pemasukan Daging Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan :
i.Negara asal; Rumah Potong asal daging; Kualitas daging; Cara pemotongan; Pengemasan; Pengangkutan.

Tata Cara Pemasukan Daging

1. Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir umum dapat melakukan pemasukan daging dari Luar negeri ke dalam wilayah negara republik Indonesia.
2. Direktur Jenderal Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan pengolahan daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis, kualitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
3. Penilaian oleh Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud pada point.2) dilakukan berdasarkan persyaratan teknis dan dapat disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakan penilaian.
4.Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada point.2, importir mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging, tujuan daerah pemasukan, jenis dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.

Persyaratan Sanitasi Untuk Susu, Susu Bubuk, Produk Susu Dan Krim Susu

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi susu, susu bubuk, produk susu dan krim susu ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Semua pengiriman susu dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Importasi produk hewan harus disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan, dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Pemerintah Negara Asal, yang menyatakan bahwa:
2. Negara atau bagian dari negara atau daerah asal bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
3. Produk susu tersebut harus berasal dari kelompok atau kawanan ternak yang tidak menjadi subyek pembatasan karena adanya penyakit Brucellosis atau Tuberculosis pada saat pengumpulan susu.
4. Susu atau krim berasal dari Perusahaan Industri Pemrosesan yang telah memperoleh izin Pemerintah Nasional dan telah menerapkan rencana HACCP. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi manusia, harus melakukan salah satu dari tandar berikut ini:
a.    Ultra-high temperature (UHT=suhu minimal 132 C, sekurang-kurangnya selama 1 detik).
b.    Jika susu tersebut memiliki pH kurang dari 7,0, maka dilakukan pasteurisasi high temperature short time (HTST).
c.    Jika susu tersebut memiliki pH 7,0 atau lebih, maka dilakukan HTST ganda. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi hewan, harus melakukan salah satu dari standar berikut, yaitu HTST ganda (72 oC sekurang-kurangnya selama 15 detik) atau HTST dikombinasi dengan perlakuan fisik lainnya, misalnya pH dipertahankan

Persyaratan Sanitasi Untuk Pakan Hewan Jadi Yang Digunakan Sebagai Pakan Hewan Kesayangan

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi pakan hewan jadi
(pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:

Standar 1.
Importasi dari negara pengekspor pakan hewan jadi (pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia dengan bahan baku yang berasal dari ruminansia, babi dan unggas harus memenuhi persyaratan dan juga dilengkapi dengan sertifikat terlampir, sebagai berikut:
1.    Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan yang
berwenang, yang menyatakan bahwa:
- Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama seperti: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des petits Ruminant, Vesikular Stomatitis, Swine Vesicular Disease, African Swine Fever, Bovine Spongioform Encephalopathy, Scrapie dan Highly Pathogenic Avian Influenza.
-Importasi dari negara endemik PMK diperbolehkan bilamana produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang berasal dari ruminansia atau babi.
2.    Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas kontrol kualitas pada industri tersebut, yang menyatakan bahwa:
- Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal dan juga harus memiliki nomer pendirian.
- Bahan-bahan yang digunakan harus tercantum secara spesifik.

Material tersebut harus mendapat perlakuan sesuai dengan standar berikut ini:
1.    Untuk Produk Pakan Kering, bahan-bahan yang berasal dari hewan harus dipanaskan pada suhu minimal 240 F (115 C) sekurang-kurangnya selama 20 menit dengan tekanan atmosfer. Bahan-bahan tersebut dikombinasi dengan sereal dan bahan-bahan lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pemanasan.Proses pemanasan produk tersebut dilakukan dengan proses ekstrusi yang memanaskan produk tersebut hingga mencapai suhu minimal 240 F (115 C) selama 15 detik dan dengan tekanan atmosfer selama 28 menit.
2.    Produk Pakan Kalengan diproduksi sesuai dengan teknik pengolahan
makanan kaleng standar, dengan suhu tidak kurang dari 240 F (115 C)
dalam periode tidak kurang dari 75 menit.

Standar 2
Importasi pakan hewan harus dilaporkan oleh pihak importir ke Petugas Karantina Hewan pada bandara/pelabuhan pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku. Semua pakan hewan impor harus dicatat oleh Dokter Hewan Karantina berwenang pada bandara/pelabuhan pemasukan.

Persyaratan Sanitasi Untuk Bahan Baku Pakan Asal Hewan (Tepung Tulang Dan Daging / Daging / Tulang / Tanduk / Darah Dari Sapi, Kambing , Domba, Dan Rusa Serta Tepung By- Product Unggas / Bulu Unggas)

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan
ternak (tepung tulang dan daging / daging / tulang / tanduk / darah) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari Negara atau bagian Negara yang bebas dari PMK, rinderpest, Peste des petits Ruminant sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum ekspor, BSE dan Scrapie.
2. Produk berasal dari perusahaan pengolahan yang memiliki izin dan memiliki NKV. Alamat industri harus tercantum dalam Sertifikat Kesehatan.
3. Produk berasal dari hewan yang sehat. Pabrik pengolahan harus mencatat penggunaan hewan untuk produksi serta harus mencatat tanggal produksi pada setiap pengiriman.
4. Produk telah mendapat perlakuan pemanasan secara termal sampai Mencapai tingkat penghancuran target yang mengandung mikroorganisme.
5. Produk harus menjadi subyek pengujian pasca produksi untuk memeriksa adanya Salmonella (dan Clostridium). Uji ini harus dilakukan di Laboratorium Pemerintah atau laboratorium yang bersertifikat. Tanggal pengujian dan hasil pengujian harus tercantum dalam sertfikat kesehatan.
6. Produk ini harus diolah dan diproses berdasarkan Peraturan/Standar Pemerintah negara eksporter untuk memastikan keamanan produk.
7. Setelah perlakuan, harus dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi dengan sumber pathogen utama.
8. Pabrik pengolahan harus menerapkan GMP dan prosedur hygiene
sanitasi sebelum pengemasan. Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan ternak (tepung by-product unggas / bulu) ke Indonesia, adalah sebagai berikut
Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:
1. Produk ini berasal dari area yang memenuhi kriteria OIE yaitu berasal dari area yang bebas dari wabah HPAI dan area yang tidak melaporkan adanya wabah PMK dalam waktu sebulan sebelum ekspor.
2. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang memiliki izin dan NKV. Pabrik pengolahan harus memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam penjualan domestik.
3. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang hanya melakukan pengolahan khusus hanya untuk satu spesies atau memiliki jalur pengolahan terpisah untuk mencegah kontaminasi dengan bahan-bahan asal ruminansia atau babi.
4. Pabrik pengolahan tersebut harus memiliki catatan semua sumber bahan mentah yang digunakan. Produk yang dinyatakan di sini, diproduksi pada tanggal berikut: (termasuk tanggal produksi).
5. Pengujian rutin terhadap adanya salmonella harus dilakukan pada produk ini sesuai dengan protokol yang disetujui di laboratorium pemerintah atau laboratorium bersertifikat.
6. Dilakukan perlakuan pemanasan kering pada material yang diolah berdasarkan standar yang disetujui.
7. Dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi agen patogenik pada produk tersebut setelah pengolahan.
8. Produk tersebut diolah sesuai dengan persyaratan sanitasi standar dan sesuai dengan GMP.
9. Produk ini tidak mengandung bahan-bahan asal ruminansia dan
unggas.
Persyaratan lain:
1. Produk ini harus memiliki label bahwa produk ini tidak sesuai untuk konsumsi manusia dan tidak mengandung bahan asal babi serta hanya digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur.
2. Penerapan pengujian dan perlakuan seperti tersebut di atas harus berada dalam pengawasan langsung Dokter Hewan Berwenang dari negara asal.
3. Produk yang menunjukkan bukti fisik adanya kerusakan pada kantung atau kemasan dan terletak pada kotak/kontainer yang tidak terjamin keamanannya, harus ditarik dari pengiriman dan ditolak untuk dimuat.
4. Sertifikat kesehatan harus diserahkan pada kapten/perusahaan ekspedisi, sedangkan salinannya diserahkan kepada perwakilan Indonesia di negara asal.
5. Jika dianggap perlu, maka Ditjennak dapat melakukan. pemeriksaan langsung di lokasi pengolahan tersebut.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Bahan Baku Kulit ke dalam negara Indonesia
Pemasukan Kulit Wet Blue, Crust dan Finished Leather. Dapat dimasukkan dari dan/atau transit di semua negara (status bebas dan endemik penyakit daftar A-OIE). Tetapi dari negara yang sedang dinyatakan wabah (epidemi) penyakit tersebut, maka dilarang pemasukannya ke Indonesia.Apabila wabah penyakit telah dapat dikendalikan (setelah 30 hari sejak kasus terakhir) maka pemasukkannya
dapat disetujui kembali.

Minggu, 28 November 2010

Cacing Trematoda (CAcing Daun/Cacing Pipih)

Cacing Trematoda (CAcing Daun/Cacing Pipih)

1.    Pendahuluan

Trematoda berasal dari bahasa yunani Trematodaes yang berarti punya lobang,  bentuk tubuh pipih dorso ventral sperti daun.Umumnya semua organ tubuh tak punya ronggat tubuh dan mempunyai Sucker atau kait untuk menempel pada parasit ini di luar atau di organ dalam induk semang. Saluran pencernaaan mempunyai mulut, pharink, usus bercabang cabang. tapi tak punya anus.
 Sistem eksretori bercabang- cabang, mempunyai flame cell yaitu kantong eksretori yang punya lubang lubang di posterior. Hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae. Siklis hidup ada secara langsung (Monogenea) dan tak langsung (Digenea)
Trematoda atau cacing daun yang berparasit pada hewan dapat dibagi menjadi tiga sub klas yaitu Monogenea, Aspidogastrea, dan Digenea. Pada hewan jumlah jenis dan macam cacing daun ini jauh lebih besar dari pada yang terdapat pada manusia, karena pada hewan sub klas ini dapat dijumpai.
Dalam makalah ini kami membahas khusus Dicrocoelium dendriticum yang merupakan spesies dari genus Dicrocoelium dari sub klas Digenea,Semua cacing daun yang termasuk golongan sub klas Digenea ini berparasit pada siklus hidupnya. Sebagai induk semang perantara adalah mollusca tetapi kadang juga pelkecypoda. 
Banyak dari apa yang sekarang diketahui tentang D. dendriticum adalah hasil kerja para naturalis seperti Wendell Krull. Sementara itu D. Dendriticum juga ditemukan oleh Rudolphi pada 1819 dan . Hospes definitif ditemukan oleh Loos tahun 1899, seluruh siklus hidup tidak diketahui,sampai CR peta Krull  menerbitkan karyanya dari tahun1951-1953 secara mendetil tentang pengamatan dan percobaan D. denriticum. Untuk lebih jelasnya kami membahas secara Deskrptif dalam makalah ini.









2.     Etiologi
Penyakit dicrocoeliasis disebabkan oleh cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia, dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).

2.1. morfologi
•    Tubuh memanjang,  dengan panjang 6-10 × 1,5-2,5 mm. Bagian anterior sempit di bagian lengan melebar
•    Diposterior alat kelamindipenuhi uterus yang bercabang-cabang
•    Telur coklat 36-45×20-32 mikron, beropeculum
•    Terdapat didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia

2.2. Siklus Hidup
 

Keterangan Gambar :
•    Host intermediet 1 : siput
•    Host intermediet 2 : semut
Telur dimakan H.I → menetas→ mirasidium→ migrasi ke glandula mesenterika→ sporosiste→ sporosiste anak → serkaria→ bergerombol, satu sama lain dilekat kan oleh subtansi gelatinous yang disebut “SLIME BALLS”→ mengandung 200-400 serkaria→ dikeluarkan dari siput→ melekat di tumbuh-tumbuhan.
Slime balls dimakan semut. Metaserkaria di cavum abdominalis semut ± 128 per semut. Dapat juga memasuki otak semut. Induk semang definitif terinfeksi karena makan semut→ duktus biliverus→ hati
Cacing yang kecil masuk kecabang duktus biliverus→menempel dengan perubahan patologi tidak begitu tampak untuk memproduksi telur yang di butuhkan sekitar 11 minggu setelah hewan memakan metaserkaria (dibanding Fasciola hepatica) kecuali ada infeksi berat. Pada infeksi lanjut→ Cirrhosis hepatica dan terbentuk pada permukaan hati, duktus biliverus melebar terisi cacing. 

2.3. Distribusi
 Terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia,New york dan Amerika Utara (Anonimus, 2009).

2.4. Predileksi
Predileksi didalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia.

2.5. Host
•    Host intermediet  1 : siput →Cionella lubrica
•    Host intermediet  2 : Semut→ famili formica
•    Host definitif pada domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia yang termakan host intermediet 2
2.6.Gejala Klinis
•    Oedema dan kurus tetapi pada beberapa kejadian tidak ada gejala klinis
•    Serosis pada permukaan liver dan duktus empedu
•    Adanya anemia
•    Terjadinya proliferasi glandula epitel pada duktus biliverus

2.7. Patogenesa
Cacing kecil mengadakan penetrasi dalam duktus biliverus infeksi yang tinggi pernah terjadi pada domba kira-kira 2000 D.denriticum. Di Spanyol 34℅ sapi, Domba 23℅, 45℅ pada kambing, Switzerland 40℅.

2.8. Diagnosa
•    Gejala klinis
•    Sejarah pastur
•    Ditemukan D.denriticum imatur dalam feses cair
•    Post mortem yaitu serosis merupakan sejumlah besar cacing ditemukan pada duktus biliverus

Diagnosis untuk infeksi dicrocoeliasis melibatkan identifikasi D. dendriticum telur dalam kotoran manusia atau hewan. Namun, pada manusia, telur dalam tinja mungkin hasil dari hewan yang terinfeksi menelan mentah hati dan mungkin tidak pada kenyataannya menunjukkan dicrocoeliasis. Oleh karena itu, memeriksa cairan empedu atau duodenum untuk telur adalah teknik diagnostik yang lebih akurat.
Pada hewan, diagnosa melibatkan  bedah bangkai dari hati. Baru-baru ini, sebuah ELISA menggunakan antigen D. dendriticum mampu mengidentifikasi kasus dicrocoeliasis domba di Italia..