Mungkin selama ini kita sering keliru nih, ketika menemukan seekor anak kucing kita sering memberinya susu formula. Ternyata hal ini adalah sebuah tindakan yang salah.
Oleh Bobby Sant
Susu identik dengan anak kucing. Banyak pemula yang hanya memberikan susu sebagai makanan pada anakan kucingg yang baru dimilikinya. Susu memang makanan padat nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh anakan kucing yang belum bisa memakan makanan padat yang dimakan oleh kucing dewasa. Tapi tahukah anda bahwa tidak semua susu dapat dicerna oleh kucing?
Susu yang tidak dapat dicerna oleh kucing adalah susu yang berlaktosa seperti susu sapi segar ataupun produk sampingannya. Laktosa adalah gula susu yang merupakan salah satu komponen khas dalam susu bersama dengan trigliserida (lemak susu) dan kasein (protein susu). Kandungan laktosa sekitar 4,6% dalam susu. Untuk mencerna laktosa maka pencernaan harus menggunakan enzim laktase yaitu salah satu enzim pencernaan yang diproduksi oleh sel-sel di usus kecil yang bertugas memecah gula susu menjadi bentuk yang lebih mudah untuk diserap ke dalam tubuh. Sayangnya, pencernaan yang dimiliki oleh kucing tidak dapat memproduksi enzim ini sehingga laktosa tidak terurai, butiran laktosa akan tertinggal di muka lubang usus halus dan menyerap banyak air dari sekitarnya sehingga menimbulkan diare. Ada kalanya sebelum keluar, ia tertahan di kolon dan diurai oleh bakteri penghasil gas (CH4, CO2, H2). Akibatnya, perut menjadi kembung, nyeri lambung, hingga diare.
Ada beberapa pencernaan kucing yang akhirnya menjadi kebal terhadap laktosa. kucing tidak mengalami diare ataupun perut kembung. Hal ini bukan berarti baik karena pencernaan kucing mengalami gangguan yang tidak terlihat sehingga fungsi kerjanya menurun. kucing tidak dapat mencerna dan menyerap nutisi dengan maksimal sehingga harus diberikan makanan dengan jumlah yang lebih banyak daripada yang seharusnya. Akibatnya kucing akan kehilangan berat badan dan malnutrisi.
Jadi, apakah pemberian susu harus dihindari?
Setiap jenis susu pasti mengandung laktosa, tetapi ada susu yang mengandung laktosa sehingga dapat dikonsumsi oleh kucing. Susu berlaktosa yang dapat dikonsumsi oleh kucing adalah susu yang mengandung protein alpha S1-casein yang rendah yaitu susu yang berasal dari hewan kambing. Diluar negeri, susu kambing memang sedang ditingkatkan dan dipromosikan karena tidak menimbulkan efek samping yang merugikan seperti susu sapi. Di Indonesia memang akan lebih sulit untuk mencari susu kambing tapi tidak perlu khawatir karena produsen makann hewan sudah menyiapkan susu bebas laktosa untuk kucing sehingga anda dapat memberikan susu kepada kucing kesayangan anda tanpa menyebabkan kucing anda mengalami diare. Sayangnya produk ini harganya sangat mahal karena diimpor dalam jumlah yang kecil. Alternatif lain adalah dengan memberikan susu formula untuk bayi manusia yang bebas laktosa dengan harga yang lebih terjangkau dan lebih beragam pilihannya. Susu formula bebas laktosa biasanya diberi kode FL (free lactose) pada kemasannya.
Memang, nutrisi yang dikandung susu formula bayi tidak sama nutrisi yang dibutuhkan oleh anakan kucing tapi setidaknya lebih baik daripada susu sapi yang mengandung protein alpha S1-casein sangat tinggi sehingga dapat menyebabkan diare.
Selain pada susu, kandungan laktosa juga banyak digunakan pada produk makanan ringan untuk manusia seperti biskuit, sereal siap saji, keju, margarin, dan sebagainya sehingga perlu diperhatikan jika anda ingin memberikan makanan ringan untuk kucing anda. Lebih aman jika makanan ringan tersebut dibuat khusus untuk kucing yang diproduksi oleh produsen makanan hewan terkemuka karena walaupun mengandung susu, kandungan laktosanya sudah dihilangkan terlebih dahulu agar aman dikonsumsi oleh kucing anda.
materi referensi:
http://mediakucing.com/wmview.php?ArtID=3059
Senin, 31 Januari 2011
Senin, 24 Januari 2011
Hematuria pada Sapi Perah
Hematuria adalah suatu keadaan dimana pada urine sapi ditemui adanya darah segar atau urine berwarna merah. Penyebab dari Hematuria bermacam-macam, bisa akibat infeksi oleh parasit darah, keracunan, infeksi saluran urogenital, batu pada saluran kencing (urethra, vesica urinaria, ginjal) dan penyebab-penyebab lainnya . Gejala klinis yang paling mudah terlihat adalah ditemukannya darah segar atau urine berwarna merah pada saat sapi urinasi. Gejala lainnya adalah biasanya sapi menderita anemia, nafsu makan turun, kekurusan lemah, lesu dan gejala umum lainnya (Subronto dan Tjahajati .1989).
Kejadian biasanya yang terlihat dilapangan adalah sapi mengalami urinasi bercampur darah terjadi pada awal fiksi, kejadian ini kemungkinan adanya infeksi atau trauma pada saluran urogenital bagian bawah (vesica urinaria dan vagina). Pada kasus Hematuria di lapangan, pengobatan yang dapat diberikan adalah Intertrim® (trimetoprim 40mg, sulfadoxine 200mg/100ml) 10 ml IM, injectamin® (vitamin A, D3, E, B2, B6, B12, Nikosinamida, D-pantenol) dengan dosis 2,5-5 ml/ekor sapi atau Vitamin B-kompleks® (B1, B2, B6, Nikosinamida, D-pantenol) dengan dosis 5-10 ml/ekor sapi intra muskuler. Menurut Merck Veterinary Manual 5th edition, sebelum pengobatan pada kasus Hematuria sebaiknya ditentukan dulu penyebab utama dari Hematuria tersebut, sehingga pengobatan yang dilakukan efektif.
sumber: duniaveteriner.com
Kejadian biasanya yang terlihat dilapangan adalah sapi mengalami urinasi bercampur darah terjadi pada awal fiksi, kejadian ini kemungkinan adanya infeksi atau trauma pada saluran urogenital bagian bawah (vesica urinaria dan vagina). Pada kasus Hematuria di lapangan, pengobatan yang dapat diberikan adalah Intertrim® (trimetoprim 40mg, sulfadoxine 200mg/100ml) 10 ml IM, injectamin® (vitamin A, D3, E, B2, B6, B12, Nikosinamida, D-pantenol) dengan dosis 2,5-5 ml/ekor sapi atau Vitamin B-kompleks® (B1, B2, B6, Nikosinamida, D-pantenol) dengan dosis 5-10 ml/ekor sapi intra muskuler. Menurut Merck Veterinary Manual 5th edition, sebelum pengobatan pada kasus Hematuria sebaiknya ditentukan dulu penyebab utama dari Hematuria tersebut, sehingga pengobatan yang dilakukan efektif.
sumber: duniaveteriner.com
Awas Antibiotik dalam Daging Ternak
Masuknya residu antiobiotika ke dalam tubuh lewat konsumsi daging ternak harus diwaspadai karena dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap obat-obatan.
Peringatan tersebut diungkapkan beberapa pakar di China menyusul tren penggunaan antiobiotika pada hewan ternak yang makin meningkat. Laporan menyebutkan, hampir setengah dari antibiotika yang diproduksi di Negeri Tirai Bambu itu diberikan kepada ternak daripada digunakan untuk mengendalikan penyakit pada manusia.
Peringatan tersebut diungkapkan beberapa pakar di China menyusul tren penggunaan antiobiotika pada hewan ternak yang makin meningkat. Laporan menyebutkan, hampir setengah dari antibiotika yang diproduksi di Negeri Tirai Bambu itu diberikan kepada ternak daripada digunakan untuk mengendalikan penyakit pada manusia.
Sekitar 210.000 ton antibiotika yang diproduksi di China setiap tahun, sekitar 97.000 ton di antaranya berakhir dalam tubuh hewan, ungkap Xiao Yonghong, profesor dari Institute of Clinical Pharmacology of Peking University, seperti dilansir koran People’s Daily.
Riset yang digagas Chinese Academy of Social Sciences menemukan, lebih dari 50 persen peternakan di Provinsi Shandong dan Liaoning selalu menambahkan antibiotika pada pakan hewan yang diternakkan.
"Penggunaan antibiotika sudah menjadi lumrah sekarang, yang berujung pada meningkatnya tingkat kematian hewan karena tingkat kekebalan mereka menjadi tertekan. Selain itu, antibiotika kerap merugikan kesehatan seseorang setelah diminum," ujar Qi Guanghai, kepala riset di Akademi Ilmu Agrikultur China.
"Perhatian harus diberikan pada masalah asupan antibiotika melalui konsumsi makanan sehari-hari, karena hal itu dapat meningkatkan kemungkinan bakteri kebal yang berkembang dalam tubuh manusia," ujar Huang Liuyu, direktur Institute for Disease Prevention and Control of the People's Liberation Army.
Salah satu contohnya adalah bayi seberat 650-gram yang lahir prematur di Guangzhou. Seperti dilaporkan surat kabar People's Daily, bayi ini mengidap resistensi terhadap tujuh jenis antibiotika, yang diduga kuat akibat dari kebiasaan ibunya setiap hari mengonsumsi daging dan telur yang mengandung residu atau ampas dari antibiotika.
Bulan lalu, di dataran China juga dilaporkan kasus pertama bakteri NDM-1, yang resisten pada hampir semua jenis antibiotika.
Dengan adanya fakta meningkatnya kasus resistensi obat yang terdeteksi di China dan belahan bumi lainnya, Huang mendesak pihak yang berwenang seharusnya memberi perhatian lebih pada masalah ini, dan melakukan regulasi dengan baik pada sektor ini.
"Di Eropa, antibiotika dilarang untuk ditambahkan pada makanan ternah sejak bertahun-tahun dan pelarangan yang sama akan diimplementasikan di Korea Selatan," ujar Tu Yan, periset dari Akademi Ilmu Agrikultur China.
China memperkenalkan antibiotika ke dalam industri peternakan dalam upaya pencegahan penyakit pada era 1990-an. Regulasi tentang tambahan obat-obatan diterbitkan oleh China pada 2002, dan lebih banyak fokus pada penggunaan dosis yang tepat dari jenis antibiotika berbeda pada pakan ternak. Namun regulasi tersebut tak mengatur tentang supervisi penjualan dan penggunaan antibiotika yang berlebihan.
Sumber: Kompas.com
Riset yang digagas Chinese Academy of Social Sciences menemukan, lebih dari 50 persen peternakan di Provinsi Shandong dan Liaoning selalu menambahkan antibiotika pada pakan hewan yang diternakkan.
"Penggunaan antibiotika sudah menjadi lumrah sekarang, yang berujung pada meningkatnya tingkat kematian hewan karena tingkat kekebalan mereka menjadi tertekan. Selain itu, antibiotika kerap merugikan kesehatan seseorang setelah diminum," ujar Qi Guanghai, kepala riset di Akademi Ilmu Agrikultur China.
"Perhatian harus diberikan pada masalah asupan antibiotika melalui konsumsi makanan sehari-hari, karena hal itu dapat meningkatkan kemungkinan bakteri kebal yang berkembang dalam tubuh manusia," ujar Huang Liuyu, direktur Institute for Disease Prevention and Control of the People's Liberation Army.
Salah satu contohnya adalah bayi seberat 650-gram yang lahir prematur di Guangzhou. Seperti dilaporkan surat kabar People's Daily, bayi ini mengidap resistensi terhadap tujuh jenis antibiotika, yang diduga kuat akibat dari kebiasaan ibunya setiap hari mengonsumsi daging dan telur yang mengandung residu atau ampas dari antibiotika.
Bulan lalu, di dataran China juga dilaporkan kasus pertama bakteri NDM-1, yang resisten pada hampir semua jenis antibiotika.
Dengan adanya fakta meningkatnya kasus resistensi obat yang terdeteksi di China dan belahan bumi lainnya, Huang mendesak pihak yang berwenang seharusnya memberi perhatian lebih pada masalah ini, dan melakukan regulasi dengan baik pada sektor ini.
"Di Eropa, antibiotika dilarang untuk ditambahkan pada makanan ternah sejak bertahun-tahun dan pelarangan yang sama akan diimplementasikan di Korea Selatan," ujar Tu Yan, periset dari Akademi Ilmu Agrikultur China.
China memperkenalkan antibiotika ke dalam industri peternakan dalam upaya pencegahan penyakit pada era 1990-an. Regulasi tentang tambahan obat-obatan diterbitkan oleh China pada 2002, dan lebih banyak fokus pada penggunaan dosis yang tepat dari jenis antibiotika berbeda pada pakan ternak. Namun regulasi tersebut tak mengatur tentang supervisi penjualan dan penggunaan antibiotika yang berlebihan.
Sumber: Kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)