Senin, 03 Desember 2012

PERANAN CENDAWAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI SUSU


paper

CENDAWAN
PERANANNYA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI SUSU







Kelompok 1
Zul Azmi, SKH
Susi Darmayanti, SKH
Ferdian, SKH





FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2012




PERANAN CENDAWAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI SUSU

Produksi dan kualitas susu sapi perah sangat ditentukan oleh kondisi fisiologis sapi, bobot badan, kualitas pakan. kondisi fisiologis sapi perah seperti periode beranak atau berumur dan bulan laktasi sangat berpengaruh pada fluktuasi produksi dan kualitas susu. bobot badan awal akan menentukan tingkat konsumsi pakan sapi perah, sedangkan kualitas pakan berpengaruh pada jumlah nutrien yang dapat dicerna akan diserap oleh tubuh. jadi bobot badan dan kualitas pakan akan menentukan jumlah nutrien yang tersedia sebagai bahan baku sintesis susu (Muktiani, 2004). protein, lemak dan laktosa adalah tiga nutrisi utama yang terdapat dalam air susu. protein dan laktosa kadarnya dipertahankan tetap di dalam susu, sedangkan lemak kadarnya berubah tergantung pasokan bahan baku sintesis lemak susu. 
Sapi-sapi yang mendapatkan asupan probiotik yang mengandung Saccharomyses cerevisiae dan Bacillus spp terjadi peningkatan produksi susu sebesar 16,32%-17,29% pada kelompok ternak yang diberi asupan probiotik sebesar 15 gr, dan peningkatan sebesar 17,82%-19,76% pada kelompok ternak yang mendapatkan asupan probiotik sebesar 30 gr (Supriyati, 2010). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Widiawati  dan  Winugroho (2007) bahwa penambahan probiotik yang terdiri dari Bioplus,  S. cerevisiae dan Candida utilis pada pakan dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 13%. Supriyati  et al. (2007) melaporkan bahwa pemberian onggok yang difermentasi dengan  Aspergillus niger dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 3, 91 l/h dibanding kontrol (14.47 vs 10.56 l/h) di tingkat lapang probiotik Aspergillus niger.  Demikian pula Elghani (2007) pemberian 3 g ataupun 6 g  S. Cerevisiae pada pakan sapi perah yang berupa alfalfa dan jerami gandum dapat meningkatkan produksi susuu. Pada kambing perah Saanen pemberian S. Cerevisiae sebesar  0,2 g yang setara dengan 4 x 109 CFU per harinya dapat meningkatkan produksi susu sebesar 14,4%.
Pengaruh suplementasi probiotik (s. cerevisiae dan a. oryzae) bermineral terhadap kualitas susu. pada penelitian  tersebut dilaporkan kadar lemak dan laktosa tertinggi dicapai oleh perlakuan penambahan probiotik bermineral Zn+Cr. Subiyatno et al. (1996), menyatakan bahwa Cr mampu meningkatkan konsentrasi IGF-1 yang berperan membantu meningkatkan uptake glukosa oleh sel kelenjar ambing. Seperti telah diketahui pada sintesis lemak susu pada ternak ruminansia ketersediaan glukosa tidak kalah penting dibandingkan ketersediaan asam lemak sebagai bahan baku sintesis susu. Glukosa juga merupakan sumber α-gliserol bagi sintesis lemak susu. selain itu melalui siklus pentosa fosfat glukosa dibutuhkan untuk mereduksi NADP+ sehingga menghasilkan NADPH (Collier, 1985). Telah dikemukan sebelumnya bahwa setiap pemanjangan 2 rantai C pada sintesis asam lemak dibutuhkan q molekul NADPH. berdasarkan hal tersebut diatas dapatlah dimengerti bahwa kadar lemak susu akan meningkat dengan meningkatnya pasokan glukosa ke dalam sel kelenjar ambing.
Salah satu enzim yang bisa dihasilkan dari proses fermentasi cendawan adalah enzim lipase. Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam 1 hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghas ilkan asam lemak bebas dan gliserol (Falony, et al., 2006). Enzim ini juga digunakan dalam hidrolisis triasilgliserol (TAG) menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan asam lemak bebas (Putanto, et al., 2006). Kapang Aspergillus niger merupakan salah satu sumber penghasil enzim lipase.  Aspergillus niger merupakan mikroba jenis  kapang yang dapat tumbuh cepat dan tidak membahayakan karena tid ak menghasilkan mikotoksin. Selain itu, penggunaannya mudah karena banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat da n beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amilo-glukosidase dan selulase. Enzim lipase juga dihasilkan melalui dinding lambung yang bersifat sangat asam. Enzim ini dikeluarkan bersama dengan pepsin dan renin. Enzim pencernaan manusia ini berfungsi dalam proses metabolisme, yaitu memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Sehingga dengan adanya bantuan dari beberapa cendawan yang dapat menghasilkan enzim lipase ini maka akan lebih banyak lipid yang dapat dipecah menjadi asam-asam lemak, sehingga dapat juga meningkatkan kadar lemak di dalam susu. Banyak studi yang melaporkan bahwa kultur ragi dapat meningkatk an proses pencernaan  dalam rumen atau dalam seluruh saluran pencernaan. Peningkatan ini berhubungan langsung dengan adanya stimulasi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam rumen. Dilaporkan bahwa kecepatan awal dalam  mencerna serat menjadi lebih cepat atau timelag untuk mencerna serat berkurang sampai 30% (Dawson, 1994). Williams et al. (1991) melaporkan bahwa pada 24 jam pertama inkubasi in sacco dalam rumen sapi, lebih banyak serat dicerna (naik rata-rata 13%) dengan penambahan kultur ragi dibanding kontrol. Strain  ragi  tertentu   dapat pula meningkat dan mempengaruhi kecepatan awal pencernaan serat. Walapun begitu total pencernaan serat seringkali tidak berbeda nyata antara penambahan kultur ragi dengan kontrol (Surhayadi et al., 1996; Wallace, 1996). Tidak semua studi memberikan hasil yang positif terhadap peningkatan serat. Dengan membandingkan berbagai jenis bahan pakan yang sering dipakai di luar negeri, terlihat bahwa silase jagung memberikan respon yang paling besar. Kecernaan bahan kering silase jagung meningkat dari 33% menjadi 42% dengan penambahan kultur ragi. Dalam  studi ini silase jagung mempunyai kecernaan bahan kering yang paling rendah di bandingkan dengan bahan lain yang diuji (Dawson, 1994). Studi ini sebenarnya sangat menarik mengingat di Indonesia pakan yang diberikan  lebih banyak mengandung serat dengan kecernaan yang tidak  terlalu tinggi. Studi ini perlu dikembangkan dengan uji pemberian pakan 
secara  langsung kepada ternak dengan waktu yang lama. 

Perubahan dalam rumen 
Peningkatan respon produksi karena penam bahan kultur ragi yang dilaporkan banyak dihubungkan dengan pengaruh ragi pada mikroorganisme di dalam saluran  pencernaan terutama pengaruhnya pada mikroorganisme rumen. Penambahan kultur ragi dapat memacu/menstimulasi pertumbuhan bakteri anaerob rumen lebih cepat sehingga populasi bakteri terutama bakteri selulolitik dan bakteri asam laktat meningkat. Dawson et al. (1990) mendapatkan peningkatan total bakteri sampai 10 kali lipat pada sapi yang diberi kultur ragi di bandingkan kontrol. Peningkatan yang lebih besar terjadi pada fermentasi secara in vitro dan peningkatan bakteri selulolitik lebih besar dari total populasi. Peningkatan populasi bakteri ini ternyata di pengaruhi oleh strain ragi dan jenis pakan. Peni ngkatan populasi bakteri tertentu akan merubah komposisi bakteri dan kondisi fermentasi rumen. Meningkatnya populasi bakteri selulolitik akan meningkatkan aktivitas selulolitik dan waktu yang dibutuhkan untuk mulai mencerna serat berkurang 30% dengan adanya ragi. Bila populasi bakteri asam laktat meningkat maka metabolisme asam laktat menjadi asam propionat ditingkatkan. Konsentr asi  asam laktat menurun sehingga pH rumen lebih  stabil. Peningkatan bakteri asam laktat dan konsentrasi asam propionat lebih besar (24,5  vs  22,8 mM) pada kultur kontinyu yang di beri ragi di bandingkan dengan kontrol.
 Rangkuman mekanisme kultur ragi dalam rumen ruminansia (sumber: Wina, 1999)


Uraian sebelumnya memperlihatkan bahwa kultur ragi dapat meningkatkan populasi bakteri selulolitik dan bakt eri asam laktat dalam rumen. Penjelasan mengenai pengaruh ragi ini sebenarnya banyak yang belum jelas, apakah ragi itu sendiri yang menstimulasi bakteri rumen atau nutrien dalam kultur ragi yang memberikan pengaruh atau sebab lain. Ada tiga hipotesis yang dipaparkan oleh Wallace (1996) untuk menjelaskan hal ini.  

1. Tersedianya vitamin dan mineral
Kultur ragi dan medium tumbuhnya banyak mengandung nutrien yaitu vitamin, mineral, dan asam amino. Kontribusi nutrien ini ke dalam rumen tentu dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri. Selain nutrien dalam ragi diidentifikasi 
dua komponen yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri rumen dalam kultur murni. Komponen yang pertama bersifat tahan panas sedangkan yang kedua sensitif terhadap panas. Identifikasi lebih lanjut terhadap sifat kimia dari kedua komponen ini masih berlanjut dan pengaruhnya terhadap populasi campuran  masih harus diuji.  
2.  Hipotesa asam dikarboksilat 
Selain nutrien dan kedua komponen yang sudah diisolasi, ternyata dalam ekstrak ragi terdapat asam dikarboksilat yaitu asam malat yang juga menstimulasi pemanfaatan asam laktat dan mencegah fluktuasi nya pH larutan. Tetapi hipotesa ini agak disangsikan karena sedikitnya kandungan asam malat ini di dalam ragi (1%) dan apakah dengan jumlah yang sangat kecil akan memberikan pengaruh yang nyata dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri. Ketika asam malat di ”infus” langsung ke dalam rumen, ada sedikit peningkatan jumlah bakteri selulolitik tetapi kecernaan serat tidak meningkat. 
3.  Hipotesa berkurangnya oksigen 
Ada pendapat yang menyatakan bahwa fungsi yang sangat menguntungkan dari ragi adalah kemampuannya yang dapat menghilangkan oksigen di dalam rumen. Lebih dari 99% bakteri rumen bersifat sangat anaerob artinya sedikit saja oksigen masuk ke dalam rumen dapat merugikan proses fermentasi. Tetapi oksigen tetap masuk ke dalam rumen selama ternak makan dan ragi mempunyai aktivitas respiratory yang dapat menghi langkan oksigen. Hal ini akan  sangat membantu mempertahankan kondisi rumen untuk tetap anaerob dan secara tidak langsung memberi kondisi yang baik untuk bakteri rumen untuk memperbanyak diri.
Dari hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan, hanya ada dua penelitian tentang pemanfaatan ragi yang sudah dilaporkan di Indonesia dan ada beberapa penelitian diperguruan tinggi yang saat ini sedang berjalan. Hasil  penelitian invitro dilakukan pada kerbau (Surhayadi et al., 1996) dan pada sapi penggemukan (Winugroho et al., 1996) memberikan respon yang positif. Hasil yang sangat positif dari banyak penelitian tentang ragi adalah meningkatnya bakteri selulolitik dan asam laktat. Ternak ruminansia di Indonesia lebih banyak diberi kan bahan hijauan dari pada konsentr at sehingga penggunaan ragi dalam pakan mungkin sangat bermanfaat. Karena ragi lokal banyak digunakan di Indonesia untuk makanan bermacam-macam, maka studi pengembangan terhadap jenis-jenis ragi yang cocok untuk ruminansia serta pemanfaatannya untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia masih sangat terbuka. 

DAFTAR PUSTAKA

Abd  El Ghani, A. 2004. Influence of diet supplementation with yeast culture (Saccharomyses cerevisiae) on performance of Zaraibi goats. Small Ruminan Research. 52(3):223–229.
Abun, T.A. dan D. Saefulhadjar. 2006. Pemanfaatan limbah cair ekstraksi kitin dari kulit udang produk proses kimiawi dan biologis sebagai imbuhan pakan dan implikasinya terhadap pertumbuhan ayam broiler. Universitas Padjajaran.
Anis, Muktiani, F. Wahyono, dan Sutrisno. 2004. Sintesis Probiotik bermineral untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi serta kesehatan sapi perah. laporan penelitian. Direktorat penelitian dan pengabdian pada masyarakat direktorat jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional
Collier, R.J. 1985. Nutriotional metabolic, and enviromental aspects of lactation. In:lacation (Eds. B.L. Larson). The Iowa State University Press-Ames.P.103-110.
Dawson, K.A. 1994. Successful application of defined yeast culture preparations in animal production. Alltech’s Asia Pacific Lecture Tour. 1-20. 
Dawson, K . A., K . E. Newman, and J.A. Boling. 1990. Effects of microbial supplements containing yeast and lactobacilli on roughage-fed rum i nal  mi crobial activities. J. Anim. Sci . 68:3392-3398. 
Falony, G., J. C. Armas, J. C. D. Mendoza and J. L. M. Hernandez. 2006. Production of Extracellular Lipase from Aspergillus niger by solid-state Fermentation. Food Technol.Biotechnol. 44 (2) 235-240.
Putranto, R. A., D. Santoso, T. P. Suharyanto, A. Budiani. 2006. Karakterisasi gen penyandi lipase dari kapang Rhizopus oryzae dan  Absidia corymbifera.  Menara Perkebunan. 74(1). 23-32 
Subiyatno, A., D.N. Mowat and W.Z. Yang.1996. Metabolismeand hormonal response to glucose or propionat infusions in periparturient dairy cows supplemented with chromium. J.Dairy Sci. 79: 1436-1445.
Supriyati. 2010. Pengaruh suplementasi probiotik dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah di tingkat peternak. balai penelitian ternak. Bogor.
Supriyati, I P. Kompiang, Gunawan, Budiman, A.Sobari, Mamad dan B. Maolana. 2007. Peningkatan mutu onggok melalui fermentasi sebagai bahan baku pakan sapi perah. Prosiding Seminar Sapi Perah. 2006.
Suryahadi,  K.G. Wiryawan, I.G. Permana, H. Yano, and R. Kawashima .  1996.  The  use of local y east culture Saccharomyces  cer evis i ae  to im prove  ferm entation and  nutrient utilization of buffaloes. Proc. 8th AAAP Animal Sci. Congress. 2: 168-169. 
Wallace,  R.J. 1996. The Mode of Action of Yeast Culture in Modify ing Rumen  Fermentation.  In: Biotech-nology in the Feed Industry  (Ly ons, T.P. and K.A. Jaques, eds) Proc. Alltech 12 th  Annual Symp,  United Press. 217-232. 
Widiawati, Y. dan M. Winugroho. 2007. Pengaruh pemberian konsentrat fermentasi dan probiotik terhadap produksi susu sapi perah di Pondok Rangon. Prosiding Seminar Sapii Perah. 2006.
Williams, P . E.V., C.A . G.  Tait, G . M.  Immes , and  C.J. Newbold . 1991. Effects of the  inclusion  of y east cultures (S.c. plus growth medium) in the diet of dairy  cows on milk yi eld and forage degradation and ferm entation patterns in the rume n of steers.  J. Anim. Sci. 69:3016-3020. 
Wina, Elizabeth. 1999. pemanfaatan ragi (yeast) sebagai pakan imbuhan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia.Balai penelitian ternak. bogor.
Winugroho, M ., Y. Widiawati, dan A.D. Sudjana. 1996. Penggunaan probiotik untuk meningkatkan efisiensi produksi sapi potong di  Indonesia. Ringkasan Seminar Nasional I. Ilmu Nutrisi dan Makanan. Fakultas Peternakan IPB. 46.

CENDAWAN, PERANANNYA TERHADAP BAHAN PANGAN ASAL HEWAN


CENDAWAN
PERANANNYA TERHADAP BAHAN PANGAN ASAL HEWAN

Fungi dalam bahasa Indonesia disebut cendawan. Ciri-ciri cendawan secara umum ialah makhluk hidup eukariotik, heterotrofik (tidak  memiliki klorofil), memperoleh nutrisi melalui absorbsi dan enegi simpanannya berupa glikogen. Cendawan mempunyai struktur somatik bersel satu atau banyak (multiseluler), kebanyakan berupa hifa dengan komponen utama dinding selnya ialah zat kitin, serta berkembang biak secara seksual dan aseksual dengan membentuk spora (Wisnuwati, 2011). 
Cendawan bukan termasuk hewan atau tumbuhan. Cendawan  adalah  organisme  eukariotik,  memproduksi spora,  tidak  berklorofil,  memperoleh nutrisi  dengan cara absorbsi, berproduksi secara seksual dan aseksual, berstruktur somatik  dalam  bentuk  hifa,  dinding  selnya terdiri  dari  glukan,  kitin  dan  selulosa. Berdasarkan morfologinya  cendawan  dapat  digolongkan  menjadi jamur  (mushroom)  yang  berukuran  besar  dan  dapat dilihat  dengan  mata telanjang  (makroskopik), kapang (mold)  dan  khamir  (yeast)  yang  tergolong berukuran mikroskopik.  Kapang  adalah  cendawan  renik  yang mempunyai  miselia  dan  massa  spora  yang  jelas. Khamir adalah cendawan renik bersel satu dan berbiak secara  bertunas  (Alexopoulus  et  al.,  1996;  Dube, 1996). Cendawan bukanlah tumbuhan atau hewan. Cendawan tidak memiliki klorofil seperti tumbuhan sehingga tidak dapat melakukan fotosintesis dan menyimpan karbohidratnya dalam bentuk glikogen bukan pati seperti pada tumbuhan. Cendawan juga tidak  menelan dan mengunyah makanan seperti pada hewan, melainkan merombak makanannya di luar tubuh secara enzimatik dan diserap melalui hifa (Wisnuwati, 2011).
Cendawan veteriner adalah cendawan-cendawan yang  berperan  dalam  bidang  veteriner  dan peternakan. Cendawan  tersebut  ada  yang  menguntungkan  atau merugikan bagi ternak hewan. Cendawan bersifat heterotrof dengan menggunakan bahan organik yang sudah tersedia. Bahan organik yang digunakan dapat berupa bahan organik mati (saprotrof) atau bahan organik hidup (simbiosis). Cendawan yang melakukan simbioisis antagonistik dapat menyebabkan penyakit parasitik yang merugikan makhluk hidup inangnya. Sebaliknya, cendawan yang membentuk simbiosis mutualistik menguntungkan baik inang maupun cendawannya itu sendiri. Inang untuk cendawan ialah tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme termasuk cendawan.
Struktur somatik cendawan multiseluler tersusun atas benang-benang yang disebut hifa. Hifa merupakan tabung-tabung kecil berisi sitoplasma dan nukleus. Dinding sel hifa umunya tersusun atas kitin. Kumpulan hifa akan membentuk jalinan yang disebut miselium. Beberapa jenis cendawan memiliki hifa dengan sekat-sekat melintang yang dinamakan septa. Hifa yang memiliki sekat dinamakan hifa bersekat atau bersepta. Adapun hifa yang tidak memiliki sekat   dinamakan asepta atau senositik Hifa senositik memiliki banyak inti. Pada cendawan yang hidup sebagai parasit terdapat hifa yang mengalami modifikasi menjadi haustoria. Haustoria adalah hifa yang berfungsi sebagai organ penyerap makanan atau menempel pada inang. Selain menyerap makanan, hifa dapat berkembang membentuk struktur reproduksi.
Cendawan dapat berproduksi secara aseksual dan seksual dengan membentuk spora. Terdapat bermacam-macam spora aseksual yang dibentuk   oleh cendawan, antara lain ialah konidium (jamak: konidia), sporangiospora (spora), dan klamidospora. Pembentukan spora seksual melibatkan proses perkawinan, kariogami dan meiosis. Ciri-ciri dari spora seksual digunakan dalam pengelompokan cendawan ke tingkat filum.
Cendawan terbagi menjadi tiga kingdom, yaitu chromista, protoctista, dan fungi. kingdom chromista disebut cendawan semu atau pseudofungi, kingdom protoctista disebut cendawan protozoa, dan kingdom fungi disebut cendawan sejati atau eufungi yang terdiri atas 5 filum yaitu chytridiomycota, zygomycota, ascomycota, basidiomycota, dan deuteromycota.
Yeast (khamir) secara normal hidup di alam, juga berada pada permukaan dan di dalam tubuh manusia. Seperti mikroorganisme lainnya bakteri dan  yeast dapat hidup pada rongga mulut yang sehat, usus dan kulit baik manusia maupun hewan. Akan tetapi banyak juga yang berhubungan dengan penyakit pada manusia terutama  yeast yang  termasuk yeast yang patogen misalnya:  Candida albicans, C. glabrata  dan Cryptococcus neoformans. Sedangkan  yeast yang muncul sebagai patogen baru adalah Rhodotorula rubra, Trichosporon beigelii, dan  Candida  spp. Disamping itu tentunya banyak  yeast yang tidak berbahaya seperti:  Klyuveromyces marxianus, Candida catenulata, Pichia anomala, Saccharomyces cerevisiae, Zygosaccharomyces dan Kloeckera apiculata (Balia, 2002).
   Kehadiran  yeast  dalam suatu produk makanan fermentasi misalnya: keju, mentega, yogurt, susu fermentasi, mayonaise, sosis kering, salami dan lain-lain kebanyakan merupakan mikroflora kontaminan yang telah banyak diteliti sebagai pemberi citarasa dan mempercepat kematangan produk (Wyder dan Puhan  1999). Populasinya kebanyakan berkisar 106-107 cfu/g, dan mempunyai kegiatan yang penting pada metabolisme asam sehingga menaikan pH, dan mempunyai aktifitas biokimia yang menghasilkan efek terhadap produk makanan tersebut (Heard  dan Fleet,1999). 

Peranan Cendawan pada Bahan Pangan Asal Hewan
Cendawan yang Menguntungkan Pada BPAH
Berdasarkan laporan penelitian Widiawati dan Winugroho (2007) bahwa penambahan probiotik yang terdiri dari Bioplus, S. cerevisiae dan Candida utilis pada pakan dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 13%. Supriyati et al. (2007) melaporkan bahwa pemberian onggok yang difermentasi dengan  Aspergillus niger dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 3, 91 l dibanding kontrol (14.47 vs 10.56 l/h) di tingkat lapang probiotik Aspergillus niger. Demikian pula Abd  El ghani (2007) pemberian 3g ataupun 6g S. Cerevisiae pada pakan sapi perah yang berupa alfalfa dan jerami gandum dapat meningkatkan produksi susuu. Pada kambing perah Saanen  pemberian  S. Cerevisiae sebesar  0,2 g yang setara dengan 4 x 109 CFU perharinya dapat meningkatkan produksi susu sebesar 14,4%,. Disamping itu penambahan khamir pada probiotik juga dapat meningkatkan kadar lemak, seperti yang dilaporkan oleh Supriyanti dkk., (2007) bahwa peningkatan kualitas lemak terjadi pula pada susu sapi perah yang mendapatkan ransum onggok terfermentasi A. niger. Widiawati  dan Winugroho (2007), melaporkan bahwa pemberian probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) dapat meningkatkan kandungan lemak dari 2,92 menjadi 3,03%.  NIKKHAH   dkk. (2004) melaporkan bahwa pemberian S. cerevisiae dari 3 sampai 12 g/h pada sapi perah dapat meningkatkan kualitas lemak susu dan padatan tanpa lemak dan total padatan. Peningkatan kadar lemak ini berkaitan dengan aktivitas enzimatis pada rumen meningkat dengan adanya probiotik. Dimana khamir  S. cerevisiae  memproduksi enzim selulase yang membantu rumen dalam proses pencernaan.

Penicillium roqueforti dan penicillium camemberti pada pembuatan keju
Keju adalah salah satu jenis produk fermentasi susu yang sering terkontaminasi  oleh  yeast  sebagai mikroflora sekunder (secondary microflora) dan telah diteliti memberikan kontribusi yang signifikan pada proses pematangan keju (WYDER  et al.,1999). Keju ditemukan pertama kali di Timur Tengah oleh seorang pengembara dari Arab. Pengembara tersebut melakukan perjalanan di padang gurun mengendarai kuda dengan membawa susu di pelananya. Setelah beberapa lama, susu tersebut telah berubah menjadi air yang pucat dan gumpalan-dumpalan putih. karena pelana penyimpan susu terbuat dari perut binatang (sapi, kambing, ataupun domba) yang mengandung rennet,maka kombinasi dari rennet, cuaca yang panas dan guncangan-guncangan ketika mengendarai kuda telah mengubah susu menjadi keju, dan setelah itu orang-orang mulai menggunakan enzim dari perut binatang untuk membuat keju (Inalda, 2010). 
Di abad ke 19,Ferdinand Cohn menjadi orang pertama yang menemukan bahwa proses pematangan keju diarahkan oleh mikroorganisme. Setelah itu, semakin banyak pula riset yang dilakukan berhubungan dengan keju dan proses pembuatannya. Dengan berkembangnya pengetahuan tentang keju baik dari segi biologis maupun kimiawi, proses pembuatan keju pun menjadi umum di masyarakat. Hasilnya, perusahaan-perusahaan baik yang berskala kecil maupun yang besar berlomba-lomba memproduksi keju mereka sendiri. 

Gambar . Penicillium roqueforti dan penicillium camemberti
Penicillium adalah anggota Ascomycota. Nama Penicillium berasal dari kata Latin yang memiliki arti “kuas” sebab bentuk dari jamur Penicillium seperti kuas jika dilihat secara mikroskopik. 
Penicillium camemberti adalah spesies cendawan yang digunakan dalam produksi Camembert dan brie keju. keju-keju jenis ini memiliki lapisan kulit yang berbulu akibat ditumbuhi jamur dan menyebabkan warnyanya menjadi kekuning-kuningan. sedangkan Penicillium requeforti adalah spesies cendawan yang berguna dalam produksi keju jenis Roquefort dan Stilton. cendawan ini menyebabkan adanya urat-urat biru yang tampak pada keju dan membuat permukaan keju menjadi licin (Inalda, 2010).
  
A B
Gambar . Keju yang dihasilkan oleh P. roqueforti (A) dan P. camemberti (B)

Peranan Penicillium roqueforti dan Penicillium camemberti dalam pembuatan keju adalah sebagai pembentuk warna keju, memberi ciri rasa dan mengharumkannya dengan cara merombak kasein pada bahan keju menjadi asam-asam amino dengan bantuan enzim peptidase yang dihasilkan oleh kedua cendawan tersebut dan dipengaruhi oleh kandungan garam dan air dalam keju. Warna keju sebenarnya berasal dari spora (konidia) dari jamur. Spora tersebut disuntikkan ke dalam keju dadih selama fermentasi. 

Gambar . Penicillium roqueforti dan penicillium camemberti dibawah mikroskop

Cendawan yang Merugikan Atau Merusak BPAH
Aktifitas  yeast produk keju sudah banyak diketahui adalah salah satunya melakukan  de-acidifying  dengan menghasilkan peningkatan pH dan terjadi penurunan asam laktat. Bersamaan dengan itu terjadi proses proteolisis yang menghasilkan metabolisme alkalin dalam hal ini adalah: peptida, asam amino bebas, biogenik amin (BA) dan amonia. Pada pada keju  Camembert dan  Blue-veined  sangat didominasi dengan yeast:  Kluyveromyces marxianus, Candida catenulata, C. tropicalis, Yarrowia/Candida lipolytica, Saccharomyces cerevisiae dan Debaryomyces hansenii (Roostita,  1993). Sedangkan keju jenis Raclette terdapat jenis yeast:  Galactomyces geotrichum, Yarrowia lipolytica, Pichia jadinii dan  Debaryomyces hansenii  (Wyder  et al.,1999). Dalam hal ini  yeast tersebut menghasilkan BA dari hasil katabolisme asam amino dan hilangnya CO2 dari karboksil grup (gugusan asam amino) oleh proses dekarboksilase menghasilkan komponen amin. Dekarboksilase itu sendiri banyak terdapat pada beberapa jenis mikroorganisme. Pada produk keju banyak menghasilkan tiramin, histamin, putresin, kadaverin, triptamin dan β-pheniletilamin semuanya termasuk dalam “biogenik amin” yang terpenting. Biogenik amin pada keju ini selain mempunyai peranan penting sebagai komponen flavor, tetapi juga dapat sebagai agen penyebab “food poisoning” dengan penyebab gejala sakit kepala (headache),  migraine dan hipertensi. Komponen BA terdapat dalam jumlah besar dan lebih sering pada keju yang terbuat dari susu tanpa dipasteurisasi. Oleh sebab itu agen “biogenik amin” (BA) terutama tiramin sangat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria terhadap kualitas makanan dari sisi mikrobiologi dan keamanan pangan terutama untuk beberapa jenis makanan asal hewan seperti: sosi s kering, salami, sosis ayam, ham, susu bubuk, keju dan juga ikan yang diproses. Akan tetapi belum dapat dikatakan bila suatu produk fermentasi mengandung biogenik amin yang besar berarti berbahaya bagi kesehatan masyarakat tanpa harus diperiksa terlebih dulu terhadap kandungan toksinnya (Radosavljevic dkk., 1999). 
Yeast juga banyak terdapat pada salami, sosis Bologna, daging asap, daging cincang adalah: Candida parapsilosis, C. tropicalis, D. hansenii, Rhodotorula mucilaginosa, Yarrowia lipolytica,  Cryptococcus albidus dan  Crypt. neoformans yang selalu terdapat selama proses pembuatan dan pematangan. Bila pada daging yang segar terdapat kontaminasi populasi  yeast sebesar 2x101-6.2x104 cfu/g. Pada daging yang telah mengalami fermentasi maka populasi yeast dapat mencapai 2x105cfu/g pada hari ke 20 dan pH turun dari 5.72 menjadi 4.36. Populasi yeast yang terdapat pada salami mempunyai kontribusi terhadap citarasa produk tersebut, tetapi juga dari aktivitas proteolysis akan menghasilkan “biogenik amin”. Dimana terdapat juga kandungan tiramin, histamin, putresin, kadaverin, pheniletilamin dan triptamin. Efek dari kandungan histamin yang dihasilkan dapat berpotensi menjadi  food poisoning  bila dalam produk yang sama juga terdapat kandungan alkohol. Hal ini disebabkan alkohol berpotensi memberi fasilitas untuk terjadi  diffusi komponen amin melalui dinding usus dan ikut berperan dalam pemecahan histamin. Sehingga bila dalam produk fermentasi salam atau sosis terdapat keduanya secara bersamanan maka sangat dimungkinkan terjadi keracunan makanan. Dalam hal kandungan histamin dalam salami atau sosis belum ada Standar Internasional yang mengatur berapa kandungan histamin yang boleh dikonsumsi pada produk tersebut (Staib  et al., 2000).
Hasil penelitian yang dilaporkan Utomo et al. (1995) menunjukkan bahwa telur konsumsi dan telur tetas dari itik Alabio ditemukan adanya Aspergillus  dan jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 1.795 butir yang terdiri atas 179 butir telur konsumsi dan 1.616 butir telur tetas. Telur yang diperiksa berasal dari pasar, dan dari usaha penetasan baik berupa telur tetas yang belum asuk mesin penetas, telur yang ada di mesin penetas atau telur yang mati bungkus dan telur afkir hasil candling. Aspergillus spp. yang ditemukan dari telur konsumsi sebanyak 64,25% sedang dari telur tetas sebanyak 33,96%. Selanjutnya hasil identifikasi lanjutan terhadap  Aspergillus ditemukan  A. flavus,  Aspergillus spp .,  A. fumigatus  dan  A. niger yang cukup tinggi. Dengan tingginya frekuensi ditemukan  Aspergillus, hal ini menunjukkan bahwa baik telur konsumsi, telur tetas dan alat penetas serta peralatan lainnya sudah terkontaminasi Aspergillus. Akibat adanya infeksi jamur tersebut salah satunya dapat menyebabkan rendahnya daya tetas telur, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Utomo et al. (1994) bahwa dari telur tetas ditemukan Aspergillus sp sebesar 33,96%. Pendapat lain dikemukakan Widiastuti   et al . (2003) bahwa rendahnya daya tetas tidak hanya disebabkan oleh penyakit, namun juga dapat disebabkan karena kontaminasi aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus.
Tabel 1. Beberapa jamur yang mengontaminasi produk olahan asal hewan

Sumber: Aminah, 2004
Khamir/ yeast merupakan pencemar pada semua masakan olahan siap saji karena adanya gula yang dipakai sebagai bumbu atau pengawet makanan yang merupakan sumber makanan bagi yeast (Barnett at all 1984 dan Rodrigues 1984).

Cendawan yang Menimbulkan Penyakit 
Secara alamiah  fungi ( yeast) sangat jarang menyebabkan sakit pada orang sehat yang mempunyai daya kekebalan dan pertahanan tubuh yang baik. Kecuali bila daya tahan tubuhnya menurun sehingga dapat memberikan jalan dan memfasilitasi suasana bagi mikroorganisme termasuk yeast baik yang patogen maupun yang tidak patogen untuk menimbulkan infeksi dalam tubuh tersebut. Kelompok high risk-factor (faktor kerentanan tinggi) yang dimaksud adalah: kelompok yang lemah atau mempunyai masalah terhadap kesehatan dan rentan terhadap penyakit. Termasuk dalam golongan ini adalah kelompok masyarakat yang berpenyakit menahun, stres, defisiensi nutrisi, lama mendapat terapi obat-obatan seperti: broad-spektrum antibiotika, immunosuprresive, antimikrobial agen dan sebagainya (Brandt  et al., 2000).
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh yeast ini tidak mudah untuk diobati karena kelompok yeast tidak mati oleh obat antibiotik. Terjadinya infeksi  yeast dalam kelompok high risk-faktor  ini bisa dihantarkan oleh makanan yang diberikan ketika pasien sedang berada dirumah sakit, lingkungan rumah sakit, peralatan yang dipakai dan tangan paramedis. Dalam beberapa kasus infeksi perlu dicari darimana asal-usulnya sehingga yeast tersebut dapat masuk sebagai (portal entry) kedalam tubuh sehingga dapat menimbul infeksi seperti: candidemia, fungemia, oncomycosis, nocomial yeast infection dan fungal infection  (Piarroux  et al.,1999; Tawanda  et al.,1999). 
Pertumbuhan yang berlebihan (overgrowth) pada yeast dalam tubuh manusia dapat menimbulkan: allergi, asthma, cepat lelah, berkurangnya daya ingat, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, kembung dan lain-lain (Abbas  et al., 2000; Bouakline et al., 2000).
Para peneliti mengetahui pada masa lalu yeast dapat berkolonisasi dan menyebabkan Infeksi (kelompok pathogen) pada manusia kebanyakan adalah Candida albicans, C. glabrata dan   Cryptococcus neoformans. Adanya kemajuan dibidang pengobatan seperti antibiotika, hormon, kekebalan, penahanan rasa sakit mengakibatkan banyak manusia yang memakainya secara berlebihan dan kadang dalam waktu lama. Hal ini dapat memicu terbentuknya kelompok yang tanpa disadari telah mempunyai  risk-factor. Akibatnya jenis yeast yang dapat menginvasi tubuh manusia jadi bertambah seperti:  Candida tropicalis, C. parapsilosis, C. famata, C. krusei, Pichia anomala dsb. Kelompok yeast tersebut dapat dihantarkan kedalam tubuh melalui beragam portal entry  diantaranya saluran gastrointestinal  dari makanan yang dikonsumsinya, lingkungan, peralatan dan tangan paramedis.  Adanya makanan yang pada saat sekarang diproduksi dengan beraneka-ragam citarasa tentunya banyak mengandalkan jasa mikroorganisme diantaranya adalah yeast. Dalam hal ini terutama jenis makanan yang difermentasi oleh  yeast  apabila dikonsumsi oleh kelompok beresiko  tinggi (high risk-factor ) dapat diwaspadai karena dapat menjadi penyebab infeksi yang sulit untuk diobati karena  yeast tidak mati oleh antibiotika. Didalam kaitannya dengan keamanan pangan memang belum diatur dalam undang-undang secara Internasional ataupun Nasional tentang pemakaian  yeast  sebagai  starter  ataupun produk makanan yang diperam dengan  yeast. Dimana hal ini bisa membahayakan bagi kelompok masyarakat yang beresiko tinggi tersebut. Mungkin keadaan ini dapat dicegah dengan mencantumkan pada label produk makanan yang difermentasi dengan  yeast larangan untuk dikonsumsi oleh kelompok beresiko tinggi tersebut. Perlu untuk disurvei dan diteliti pada makanan fermentasi di Indonesia yang mungkin banyak memakai jasa yeast atau terkontaminasi oleh yeast dalam populasi yang sangat besar sehingga berbahaya pada kesehatan masyarakat dan keamanan pangan itu sendiri. Dapat diharapkan pada masa yang akan datang untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan yang diproduksi oleh yeast apabila kita mengetahui adalah termasuk kelompok beresiko tinggi.

Aflatoksin 
Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang diproduksi oleh berbagai kapang, terutama  Aspergillus flavus  dan A. parasitticus sebagai metabolit sekunder dari kapang tersebut. Dari berbagai mikotoksin, aflatoksin merupakan mikotoksin utama di Indonesia yang diketahui banyak mencemari berbagai produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, beras, dan lain sebagainya. Pada bahan pangan dan pangan, seperti bumbu pecel, kacang atom, susu segar maupun susu pasteurisasi, dan daging ayam, hati ayam serta telur ayam dapat ditemukan kandungan aflatoksin B1 dan atau aflatoksin M1 dan aflatoksikol (AGUS   et al., 2001). Aflatoksin terdiri dari 4 komponen induk yaitu, aflatoksin B1(AFB1 ), aflatoksin B2  (AFB2 ), aflatoksin G1(AFG1 ) dan aflatoksin G2  (AFG 2).  Di antarakeempat jenis aflatoksin  ini, diketahui aflatoksinB1  (AFB 1 ) dan aflatoksin B2  (AFB 2) termasuk yang berbahaya.,sehingga pengembangan penelitian banyak difokuskan pada aflatoksin jenis ini. (Makfoeld, 1993). Selain itu juga ada Aflatoksin M1 dan M2. Aflatoksin M1 adalah senyawa toksik hasil metabolisme aflatoksin B1 pada hewan yang mengkonsumsi aflatoksin B1, dan biasanya terakumulasi pada susu (widiastuti, 2006). 
Aflatoksin dianggap berbahaya karena dapat menimbulkan karsinoma hati primer bila dikonsumsi dalam jumlah rendah dan berlangsung dalam waktu yang lama, serta dapat menimbulkan kematian bila dikonsumsi dalam dosis tinggi (Roedjito dkk., 1994). pemanasan sampai 2000C tidak dapat merusak aflatoksin, sehingga pada makanan yang bahannya mengandung aflatoksin diduga akan mengandung aflatoksin walaupun makanan telah siap dimasak atau dihidangkan (pranowo dan hartantyo, 1983). Selain itu efek aflatoksin pada sapi di atas 1000 ppb dapat menyebabkan kematian jika dikonsumsi terus menerus. pada unggas aflatoksikosis menyebabkan penurunan produksi dan ukuran telur (Krausz, 2001).
Aflatoksin adalah senyawa kimia yang berupa sebuah gugus heterosiklik; suatu jenis mikotoksin yang mengandung oksigen dan memiliki suatu cincin bisdifurano (Heatchcote, 1984). berdasarkan struktur kimianya aflatoksin dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: seri difurokumarosiklopentanon (B1, B2, B2a, M1, M2, M2a, dan aflatoksikol (RO)) dan seri difurokumarolakton (G1, G2, G3, GM1, GM2, GM2a, dan B3). Menurut Rahayu (1986). aflatoksin jenis B2 dan G2 merupakan turunan dari aflatoksin jenis B1 dan G1. Aflatoksin jenis B2 dan G2 merupakan turunan 2-hidroksi dari aflatoksin jenis B2 dan G2. sedangkan aflatoksin jenis M1 dan M2 adalah turunan 4-hidroksi aflatoksin B1 dan B2. 
Menurut heathcote (1984), aflatoksin memiliki aktifitas biologis atau efek racun yang dapat dibedakan atas toksisitas akut, kronis, dan karsinogenitas. aktifitas biologis atau sifat racun aflatoksin berhubungan dengan struktur kimianya. aflatoksin B1 merupakan toksin yang paling berbahaya dan paling banyak dihasilkan, diikuti dengan aflatoksin G1, B2, G2, M1, dan M2. kemampuan aflatoksin menginduksi kanker hati diduga disebabkan aflatoksin dapat terikat pada makromolekul-makromolekul hati.efek aflatoksin pada ternak dan manusia biasa disebut aflatoksikosis. aflatoksikosis pada sapi ditunjukkan dengan gejala anoreksia, kerusakan hati dan ginjal, serta tekanan pada sistem kekebalan. gejala kronis terjadi pada kandungan aflatoksin sebesar 700-1000 ppb yang dikonsumsi secara terus-menerus. kematian sapi ditemukan pada tingkat aflatoksin diatas 1000 ppb. ruminansia lain yang mudah terkena aflatoksikosis yaitu kambing dan domba (Krauzs, 2001). 
Selain itu unggas juga sangat rentan terhadap aflatoksikosis (Krausz, 2001), unggas tidak dianjurkan memakan yang mengandung aflatoksin lebih dari 20 ppb pada dosis unggas aflatoksikosis dapat menyebabkan penurunan produksi dan ukuran telur. Pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan kematian. kandungan aflatoksin yang masih bisa dikonsumsi oleh manusiamenurut food and drug agency (FDA) adalah 20 ppb pada makanan dan 0.5 ppb pada susu (Krausz, 2001).
Aflatoksikosis akan muncul bila ayam mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi dalam waktu yang lama. Aflatoksikosis dapat bersifat akut dan menyebabkan kematian tanpa memperlihatkan gejala klinis. Hanya ketika dilakukan bedah bangkai ditemukan perubahan patologis anatomis berupa pembesaran hati yang dikenal dengan hepatomegali. Bila toksin yang dikonsumsi masih rendah, perubahan patologi berupa hepatomegali tidak akan terlihat karena dalam konsentrasi rendah aflatoksin sangat menghambat proses sintesis DNA, RNA, dan protein-protein lainnya. Barulah keracunan dalam konsentrasi yang tinggi di dalam tubuh (akibat toksin terakumulasi) terjadi proses sintesis yang cukup cepat. Sitokrom pada sel-sel hepatik akan beraktivitas sangat tinggi sehingga terjadi proses pembesaran organ hati (Iwaki et al., 1990). Aflatoksikosis yang bersifat kronis tidak menimbulkan kematian. Namun tetap menimbulkan kerugian bagi peternak. Ayam yang mengkonsumsi aflatoksin melalui pakannya akan mengalami penurunan bobot badan dan beberapa nilai biokimia serum, sedangkan bobot organ hati akan meningkat (Kubena dan Harvey, 1993). Disamping itu ayam yang mengkonsumsi aflatoksin akan menurun tingkat kekebalan tubuhnya dalam menghadapi infeksi patogen karena ayam yang terkena aflatoksikosis akan mengalami imunosupresi (Ghosh, Chaun, dan Roy; 1990). Hegazy, Azzam dan Gobal (1991) mendapatkan bahwa ayam yang terkena aflatoksikosis akan mempunyai titer antibodi empat sampai 15 kali lebih rendah dibandingkan ayam yang tidak terkena aflatoksikosis setelah divaksinasi terhadap fowl cholera.
Perubahan patologi anatomi juga terjadi pada organ jeroan hewan yang terkontaminasi aflatoksin, organ jeroan tersebut adalah hati, limpa, dan bursa fabresius. Pada organ hati didapatkan fokus-fokus degenerasi, berwarna pucat dan konsistensi organ menurun. Organ limpa akan mengalami pembesaran dan konsistensi organ menurun. sedangkan organ bursa fabrisius terlihat membesar untuk semua kelompok perlakuan yang mendapatkan aflatoksin. Ketiga organ ini merupakan organ limfoid yang berperan penting dalam menghasilkan sel-sel tanggap kebal, baik yang berperantara sel maupun yang berperantara antibodi. Maka adanya penurunan titer antibodi pada kelompok yang menerima perlakuan terutama kelompok yang mendapatkan aflatoksin diduga dikarenakan rusaknya ketiga organ limfoid ini (Patriana, 1996).
Susu merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial sebagai sumber masuknya aflatoksin ke dalam rantai makanan manusia melalui terbentuknya residu aflatoksin M1. Aflaltoksin M1 ini dapat terkonsumsi oleh manusia terutama bayi dan anak-anak melalui susu segar, susu pa steurisasi, susu UHT (R OUSSI   et al ., 2002), susu bayi (OLIVEIRA   et al., 1997) bahkan air susu ibu (ABDULRAZZAQ   et al., 2003), maupun produk olahannya seperti keju (AYCICEK  et al ., 2001). 
Salah satu kendala dalam pengamanan pangan terhadap aflatoksin M1dalam susu adalah sifatnya yang stabil terhadap pemanasan pasteurisasi dan penyimpanan (STOLOFF   et al .,1975). Oleh karenanya keberadaan aflatoksin M1 dalam susu merupakan ancaman serius terutama terhadap anak-anak yang tentunya lebih peka disbanding orang dewasa. ABDULRAZZAQ   et al. (2004) dalam penelitiannya mendapati adanya korelasi antara tingkat kontaminasi aflatoksin M1 yang terdeteksi pada air susu ibu dengan rendahnya berat bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu banyak negara yang membatasi konsentrasi residu maksimum untuk aflatoksin M1 dalam susu maupun produk olahannya sebesar 0,5 µg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 µg/L (negara-negara Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia adalah 1 µg/L atau 1 ppb (SNI, 2001).
Aflatoksin pada pakan selain dapat mengakibatkan  aflatoksikosis juga dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkannya. Aflatoksin beserta metabolitnya pada bahan pangan asal produk hewani juga membahayakan kesehatan manusia (WIDIASTUTI , 2000).Banyaknya kasus  aflatoksikosis  maka perlu penanggulangan yaitu diantaranya dengan cara menghambat/mencegah absorbsi aflatoksin di dalam saluran pencernaan dengan menambahkan senyawa pengikat aflatoksin ke dalam pakan atau menambahkan senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan proses detoksifikasi (ZAHARI dan TARMUDJI, 1995). Selanjutnya penggunaan hydrated sodium calsium aluminosilicate (HSCA) untuk mencegah absorbsi aflatoksin dalam saluran pencernaan serta mengurangi efek negatif aflatoksin. Penambahan 1,5% arang aktif ke dalam pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin dapat mencegah terjadinya aflatoksin namun tidak dianjurkan dalam pemberian dalam waktu yang lama karena pemberian hidrat arang dapat mempengaruhi pertumbuhan ternak itik (ZAHARI dan TARMUDJI, 1995). 
Menurut BAHRI (2001) alternatif pengendalian aflatoksin pada bahan pangan, pakan dan produk peternakan antara lain dapat dilakukan program  screening , pengendalian pra-panen, masa panen dan pasca panen yang meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi dan biologis.



Mastitis Mikotik
Di pihak lain dari keberhasilan pemberantasan mastitis yang disebabkan oleh bakteri, timbul masalah baru. Peningkatan di bidang pengendalian mastitis bakterial mendapat tantangan. Beberapa jenis cendawan, terutama dari golongan khamir(ragi-ragian), yang pada umumnya lebih tahan terhadap antibiotika, dapat berada di dalam kelenjar susu melalui berbagai cara, antaralain melalui alat-alat pemerah susu yang terkontaminasi. Cendawan-cendawan ini tidak terganggu atau terbunuh oleh antibiotika yang digunakan baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan mastitis bakterial, yang tentu saja bersifat antibakterial dan bukan antifungal (anti terhadap cendawan). Dengan tiadanya penyaing bakterial tadi, cendawan-cendawan tersebut dapat tumbuh dan berkem-bangbiak secara leluasa di dalam kelenjar susu tanpa hambatan, dan akan menginfeksi kelenjar susu tersebut apabila oleh beberapa faktor menjadi patogenik. Di samping itu, cendawan yang bersifat komensal dan lumrah terdapat di dalam kelenjar susu dapat menjadi patogenik oleh turun-nya daya tahan tubuh sapi akibat berbagai faktor luar dan dalam. Akibat dari semuanya terjadilah apa yang disebut mastitis mikotik. Bahwa mastitis mikotik benar-benar dapat terjadi pada ternak perah telah dibuktikan secara eksperimental oleh beberapa peneliti melalui infeksi buatan. 
Secara klinis, adanya mastitis mikotik ini dapat diamati dan didiagnosa melalui fenomena berikut:
1) Tanda-Tanda klinis mastitis biasa berupa panas, bengkak, peradangan dan Tanda-tanda lain pada ambing dapat selaluditemukan. Tanda-tanda ambing yang dapat diduga mastitis berupa perlukaan (ra-dang) pada puting, kemerahan(panas), bengkak dan lain-lain.
2) Gejala klinis lainnya pada penderita seperti demam, kurang nafsu makan, kurus, produksi susu menurun dan sebagainya dapat pula dijumpai.
3) Yang sangat menciri, terutama apabila mastitis menjadi kronis, adalah gagalnya usaha pengobatan dengan menggunakan antibiotika, yang berarti bahwa penyakitnya bukanlah mastitis bakterial melainkan mastitis mikotik, atau mungkin juga semula mastitis bakterial tetapi kemudian berlanjut menjadi mastitis mikotik.
Akan halnya mastitis mikotik, hingga sekarang masih belum diperoleh data yang mantap, karena penelitiannya baru saja dimulai dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun demikian, dapat dinyatakan bahwa mastitis mikotik tersebut secara kualitatif dijumpai pada sapi-sapi perah diIndonesia. Hal ini telah dibuktikan melalui survei dengan adanya kasus-kasus kegagalan dalam pengobatan mastitis dengan antibiotika, yang dalam penelitian pendahuluan di laboratorium kemudian ditemukan beberapa spesies cendawan, terutama khamir, dan aktinomiset, yang diperoleh dari pembiakan contoh susu yang diduga berasal
dari sapi yang menderita mastitis, yang di antaranya dapat bersifat patogenik seperti Candida sp., Geotrichum sp., Nocardia sp. dan sebagainya (Hastiono, 1985).

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Wisnuwati, 2011. Aplikasi Mikroorganisme dan Peranannya dalam Bidang Pertanian (BIOTER.3). Kementrian Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian
Alexopoulus, C.J., C.W. Mims and M. Blackwell. 1996. Introductory to Mycology.  4th Ed. John Wiley and Sons. INC., New YorkChichesterBrisbane Toronto Singapore.
Widiastuti, R. 2000. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999 : 609-614.
Hastiono, sukardi. 1985. Mastitis mikotik, radang kelenjar susu oleh cendawan pada ternak perah. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Bogor.
Balia, Roositta dan Harlia, Ellin. 2002. Keberadaan Yeast dalam Produk Makanan sebagai Penghantar Penyakit pada Manusia (Foodborne Yeast), Department of Food Science and Technology, University of New South Wales, Australia
Rahayu, W. P. 1986. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Mutu Mikrobiologis dan Kadar Aflatoksin Lada Ose. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Widiawati, Y. dan M. Winugroho. 2007. Pengaruh pemberian konsentrat fermentasi dan probiotik terhadap produksi susu sapi perah di Pondok Rangon. Prosiding Seminar Sapii Perah. 2006.
Nikkhah, A. M.D. Bonadaki  and  A. Zali. 2004. Effect of feeding yeast  Saccharomyses cerevisiae on productive performance of lactating Holstein dairy cow.  Iranian J. Agric. Sci.  35 (1): 53–60.
Dube, H.C. 1996. An Introduction to fungi. Vikas Publishing House PVT Ltd. Delhi. Second Edition.
Barnet J.A. R.W. Payne  and  D. Yarrow. 2000. Yeast, Characteristic and Identification. Third  Edition. Cambridge University Press.
Widiastuti, R. Darminto,  S. Bahri dan  R. Firmansyah. 2003. Inokulasi aflatoksin B1 pada telur berembrio dan residunya pada ayam menetas.  Pros. Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003 : 462-466.
Utomo, B.N., Istiana, E. S. Rohaeni  dan Tarmudji. 1994. Tingkat kontaminasi jasad renik Salmonella Sp. dan Aspergilllus Sp. pada telur itik Alabio di Ka bupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22-24Maret1994: 351-356.
Ghosh. R.C., H.V.S. Chauhan and S.Roy. 1990. Immunosuppression in Broiler Under Experimental Aflatoxicosis. Br. Vet. J. 146:457-461.
Hegazy, S.M., A. Azzam and M.A. Gobal. 1991. Inertaction of Occuring Aflatoxons in Poultry Feed and Immunization Against Fowl Cholera. Poultry Sci. 70: 2425-2428.
Kubena, L.F. and R.B. Harvey. 1993. Effect of Hydrated Sodium Calcium Aluminosilicates on Aflatoxicosis in Broiler Chicks.Poultry Sci.72:651-657.
Stoloff, L., M. Trucksess, N. Hardin, O.J. Francis, J.R. Hayes, C.E. Polan and  T.C. Campbell. 1975. Stability of aflatoxin M in milk. J Dairy Sci . 58(12): 1789 – 1793.
Abdulrazzaq, Y.M., Y. Osman,  Z.M. Yousif and O. Trad. 2004. Morbidity in neonates of mothers who have ingested aflatoxins. Ann Trop Paediatr. 24(2): 145-151.








Paper


CENDAWAN
PERANANNYA TERHADAP BAHAN PANGAN ASAL HEWAN







Kelompok 1
Zul Azmi, SKH
Susi Darmayanti, SKH
Ferdian, SKH





FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2012